Oleh: Moh. Andhy Maulana

Mahasiswa Program Paska Sarjana Universitas Khairun

_______

RENDAHNYA capaian retribusi pasar di Kota Ternate hingga April 2025, yang hanya mencapai 13,9% dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD), mencerminkan permasalahan mendasar dalam tata kelola pelayanan publik. Realisasi retribusi pasar yang baru mencapai Rp 5,39 miliar dari target Rp 38,8 miliar menunjukkan bahwa kebijakan pemungutan belum berjalan secara efektif (Potret Malut, 2024). Pemerintah Kota Ternate sebenarnya telah menjalin kerja sama dengan PT Intra Mulia Multiteknologi (IMM) untuk menerapkan sistem digitalisasi retribusi dengan proyeksi penerimaan sebesar Rp 15 miliar. ​Namun, hingga kini sistem tersebut belum menunjukkan hasil nyata, mencerminkan bahwa implementasi teknologi belum diimbangi dengan kesiapan manajerial, pengawasan internal yang kuat, serta integritas aparatur di lapangan. Pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan PAD lebih terkesan berorientasi proyek ketimbang optimalisasi pendapatan, indikasinya bisa dilihat dari setiap pergantian wali kota selalu diikuti dengan pergantian beleid, termasuk di bidang pendapatan daerah meskipun belied sebelumnya masih relevan untuk digunakan dan kembangkan. Pemasangan taping box atas inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Bank Pembangunn Daerah di seluruh Indonesia untuk pencegahan korupsi dan tranparansi pengelolaan PAD adalah fakta, meskipun berhasil di daerah lain.

Salah satu persoalan utama yang muncul adalah lemahnya pengawasan internal dan rendahnya akuntabilitas dalam pengelolaan retribusi pasar. Kasus penggelapan retribusi yang terjadi di UPTD Pasar Wilayah Tengah merupakan indikasi konkrit bahwa sistem pengawasan belum steril dari praktik manipulatif. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Maluku Utara menunjukkan adanya kekurangan penerimaan retribusi sebesar Rp 335 juta yang tidak disetorkan ke kas daerah oleh Kepala UPTD, dengan alasan digunakan untuk operasional tanpa bukti pertanggungjawaban yang sah (Brindonews, 2024).

Lebih dari itu, permasalahan struktural dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) turut memperparah situasi. Aparatur UPTD pasar dihadapkan pada persoalan integritas dan kompetensi yang masih rendah. Hal ini tercermin dari pemeriksaan Kejaksaan Negeri Ternate terhadap tiga orang saksi terkait dugaan penggelapan retribusi pasar selama periode Februari 2022 hingga Januari 2023, yang mengindikasikan adanya penyimpangan sistemik dalam tata kelola aparatur pasar (Kejari Ternate, 2024). Minimnya pelatihan teknis, tidak adanya sistem insentif berbasis kinerja, serta lemahnya rotasi jabatan membuat kinerja cenderung stagnan dan membuka peluang terjadinya penyimpangan.

Kontroversi terbaru terkait penyaluran insentif atau upah pungut senilai Rp 93 juta yang bersumber dari BP2RD dan digunakan tanpa kejelasan alokasi serta transparansi oleh pejabat terkait semakin mempertegas lemahnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana retribusi (Makianopost, 2025). Lembaga Pengawasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) bahkan mendesak Wali Kota Ternate untuk mencopot Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan karena lemahnya pengawasan dan indikasi keterlibatan dalam praktik yang tidak akuntabel (Tandaseru, 2025).

Secara konseptual, permasalahan ini dapat dianalisis melalui pendekatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam penyelenggaraan layanan publik. Selain itu, teori principal-agent juga relevan digunakan untuk memahami ketimpangan informasi antara pemberi mandat (principal) dengan pelaksana kebijakan (agent) yang sering kali menimbulkan deviasi kepentingan. Dalam konteks ini, aparatur bertindak sebagai agen yang berpotensi menyalahgunakan wewenang karena lemahnya kontrol dari principal, yaitu pemerintah dan masyarakat.

Meskipun sistem digitalisasi telah diperkenalkan sebagai upaya reformasi, keberhasilannya sangat tergantung pada kesiapan sumber daya dan sistem pendukung lainnya. Evaluasi terhadap pelaksanaan sistem IMM menunjukkan adanya kelemahan dalam hal literasi digital aparatur, koordinasi lintas lembaga, dan integrasi data yang belum optimal. Selain itu, budaya organisasi yang cenderung konvensional serta resistensi terhadap perubahan turut menghambat keberhasilan transformasi digital. Banyak petugas pemungut masih mempertahankan metode manual karena adanya relasi personal dengan pedagang dan keterbatasan pemahaman terhadap sistem digital (Ternate Pikiran Rakyat, 2024).

Kegagalan Kota Ternate dalam mencapai target retribusi pasar tidak hanya merupakan persoalan teknis, melainkan mencerminkan lemahnya struktur pengelolaan yang mencakup aspek SDM, kelembagaan, dan teknologi. Untuk itu, reformasi pengelolaan retribusi harus dilakukan secara menyeluruh dengan fokus pada peningkatan kapasitas dan integritas aparatur melalui pelatihan, sistem insentif yang adil, serta rotasi jabatan secara berkala.

Selain itu, diperlukan audit independen terhadap implementasi sistem IMM, penguatan pengawasan internal yang berbasis teknologi, serta pelibatan masyarakat dalam sistem pelaporan pengaduan. Pemerintah Kota Ternate juga perlu mengubah paradigma pengelolaan pasar dari sekadar sumber retribusi menjadi entitas ekonomi yang produktif dan berdaya saing. Manajemen pengelolaan pasar juga harus dapat memberi ruang kepada pelaku usaha, menciptatakan rasa keadilan demi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya, rasa nyaman bagi pelaku ekonomi dan masyarakat.

Pada akhirnya kompleksitas masalah pasar tidak cukup dengan rapat koordinasi dan evaluasi ataupun pemberian kewenangan kepada wakil wali kota untuk mengurus pendapatan asli daerah tapi dibutuhkan komitmen dan langkah berani wali kota melakukan “amputasi” terhadap patologi birokrasi yang melilit SDM pengelola pasar. Sebab masalah kronik pengelolaan pasar sumbernya bukan pada sistem atau teknologi, organisasinya, tapi pada motor penggerak yaitu SDM, paling tidak wali kota mengangkat SDM yang memiliki kemampuan manajerial dan konsepsional punya integritas dan moralitas serta menindak tegas SDM yang terbukti melakukan penyelewengan.

Dengan langkah-langkah tersebut, pengelolaan retribusi pasar diharapkan dapat menjadi pilar utama dalam penguatan keuangan daerah secara berkelanjutan, dan retribusi pasar bukan sekadar pemantik APBD tapi bisa menjadi kenyataan. (*)