1. Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

“Menghayati pentingnya harmoni dan adab hidup bersama dan bertetangga itu, setara menghayati pentingnya tanggungjawab pribadi setiap muslim di hadapan pengadilan ilahi kelak”.

“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya”.
[HR At-Thabrani]

DALAM kehidupan masyarakat yang belum terlalu kompleks, sebagian keluarga kita mungkin secara diam-diam berpikir, dengan siapa dia bertetangga kelak, ketika mengambil keputusan membangun kediaman yang menjadi domisilinya mereka.

Ini adalah keputusan yang bisa dipandang logis karena mereka menyadari bahwa keputusannya hari ini bisa berefek baik ataupun buruk secara parmanen dalam jangka panjang, karena secara faktual memang terlihat bahwa rasa kesal dan ketidaknyamanan seringkali dipicu oleh hal-hal dengan siapa kita bertetangga.

Siapa sesungguhnya tetangga kita itu? Ketika hal ini ditanyakan kepada Rasulullah, beliau menjelaskan dengan memberi isyarat 40 rumah ke samping kanan, ke samping kiri, ke depan dan ke belakang.

Tetapi substansi tetangga dalam pengertian ini adalah mereka yang kesehariannya paling dekat interaksinya dengan kita dalam kehidupan sosial. Sebut saja tetangga dekat.

Dalam masyarakat kota yang sudah kompleks dan heterogen, kehidupan bertetangga dalam pengertian interaksi personal, terlihat seperti tidaklah menjadi terlalu penting, dengan semakin kuatnya kecenderungan individualitas. Setiap orang pun cenderung berpikir tentang dirinya dan keluarganya saja.

Sedemikian pentingnya tanggung jawab sosial hidup bertetangga itu, pengingkaran terhadapnya bahkan diberi ancaman oleh Allah SWT dengan mengaitkannya dengan kadar iman seseorang sebagaimana hadits pembuka tulisan di atas. Meski dikontekskan di awal syiar untuk menjadikan masyarakat yang kuat tanggung jawab sosial-ekonominya dan terdorong untuk memerangi kekafiran.

Tetangga adalah mereka yang kesehariannya paling dekat dengan kita. Bahkan hingga ketika bangun pagi pun yang paling pertama kita dengar adalah suara tetangga. Dan itu berlangsung berhari-hari, berbulan, bahkan hingga bertahun-tahun dan lekat dalam memori bawah sadar kita. Artinya, memutuskan dengan siapa kita hendak bertetangga kelak, sama pentingnya memutuskan memilih hidup tenang dan harmoni. Ini karena di sisi lain, ada fakta empirik yang membuat miris bahwa orang memutuskan berpindah domisili hanya karena variabel ketidaknyamanan bertetangga. Karena mereka menyadari dan menghayati benar arti dan nilai hidup rukun bertetangga.

Al Ustaz M Tatam Wijaya ketika mengulas adab bertetangga dalam catatan hadits imam Al-Ghazali antara lain menuturkan tentang dasar penetapan hak bertetangga sebagaimana hadits: “Tetangga itu ada 3: tetangga yang memiliki 1 hak, tetangga yang memiliki 2 hak, tetangga yang memilili 3 hak. Tetangga yang memiliki 3 hak adalah tetangga muslim sekaligus bersaudara, yaitu hak sesama muslim, hak saudara dan tetangga. Kemudian tetangga yang memiliki 2 hak adalah tetangga muslim, yaitu hak sesama muslim dan hak bertetangga. Sedangkan tetangga yang memiliki 1 hak adalah tetangga yang musyrik (HR. At-Thabrani).

Mengutip Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazair dalam bukunya Minhajul Muslim, beliau mengatakan bahwa orang Islam meyakini bahwa tetangga memiliki hak-hak atas dirinya. Di antaranya, yaitu berbuat baik kepada tetangganya seperti menolong jika ia meminta pertolongan, menjenguknya jika ia sakit, menghiburnya jika ia mendapat musibah dan menyampaikan selamat dan turut senang ketika ia mendapat amanah kebaikan. Dan bahkan sebagian pendapat mengatakan bahwa demi menjaga hak dan kehormatan tetangga, memberikan daging kurban kepada yang non muslim baik Yahudi maupun Nasrani tidaklah masalah.

Islam menekankan pentingnya sebuah tatanan sosial yang kuat itu di bentuk dari komunitas paling kecil yaitu keluarga. Jika setiap keluarga muslim mampu mengemban tanggungjawabnya mengelola keluarganya sesuai tuntunan hukum Tuhan, kelak kumpulan keluarga-keluarga itu akan membentuk tatanan kehidupan sebuah masyarakat yang beradab, partisipatif dan egaliter. Demikian seterusnya hingga ke level kehidupan bernegara.

Jika semua menyadari bahwa setiap rumah [tangga] adalah tetangga bagi rumah tangga di sekitar kita, dan sebaliknya, rumah tangga di sekitar kita juga menyadari bahwa kità adalah tetangga bagi mereka maka puncak kesadaran tentang hak dan kewajiban hidup bertetangga itu sesungguhnya adalah manifestasi dari keimanan karena setiap kita telah menyadari tentang tanggungjawab pribadi di hadapan yang maha kuasa dalam kehidupan setelah mati di mana setiap manusia akan menghadapi pengadilan ilahi. Tanggungjawab pribadi inilah yang oleh Nurcholish Madjid di sebut sebagai salah satu dari tiga tugas Islam.

Kesadaran terhadap hal ini juga yang memacu kita untuk tetap berlaku adil terhadap sesama mahluk Tuhan, memiliki kepekaan sosial dan empati yang kuat. Semua ini adalah sendi-sendi yang mendasari dan mencirikan masyarakat madaniah yang memiliki watak partisipatif dan egaliter.

Kompleksitas dan problematika kehidupan sosial seringkali menjadi pemicu dan ancaman tèrhadap fitrah hidup bersama dan bertetangga. Pèrbedaan pandangan politik dan kepentingan ekonomi paling sering terlihat sebagai penyebabnya.

Tetangga muslim yang memiliki hak sesama muslim, juga di nisbatkan kepada tanggungjawab untuk saling menjaga dan menutupi aib atau keburukannya.Dan janji Allah SWT. untuk tetap menolong hambaNya, selama hambaNya menolong saudaranya. Dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah SAW. bersabd, “Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan menolong hambaNya selama hambaNya menolong saudaranya.” (Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah-At Targhib). Banyak riwayat bahkan menyatakan ancaman keras karena mencemarkan nama baik seorang tetangga.

Hal ini menyiratkan betapa sesama tetangga muslim di berikan tanggungjawab untuk saling memuliakan dengan saling menjaga aib saudaranya. Sebuah tanggungjawab yang tidak saja berdimensi duniawi tetapi juga memiliki konsekwensi tanggungjawab ilahiah. Hal ini penting di sadari karena seringkali keburukan (aib) tetangga itu justru menyebar dan jadi konsumsi yang meluas karena bermula dari sesama tetangga. Dan potensi itu sangat mungkin terjadi karena kedekatan secara personal dan sosial.

Tetapi apapun jenis kepentingan duniawi yang di perebutkan, tak akan bisa mengingkari fitrahnya sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial yang memiliki tanggungjawab setara. Ada kutipan, ciri orang manipulatif adalah kurangnya empati. Dia cenderung tidak peduli terhadap perasaan atau kebutuhan orang lain. Mereka lebih fokus pada apa yang mereka inginkan dari pada bagaimana tindakan mereka memengaruhi orang lain. Juga cenderung menghindari tanggung jawab. Mereka jarang mengakui kesalahan atau bertanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka lebih sering menyalahkan orang lain, situasi, atau bahkan Anda, untuk menghindari tanggung jawab.

Banyak penelitian ilmiah yang secara sosiologis menemukan bahwa mengingkari fitrah dengan menafikan tanggungjawab sosial dengan “mengisolasi” diri dalam waktu tertentu justru berakibat seseorang bisa tumbuh dalam kelainan kondisi fisik maupun psikologi. Ironisnya, gejala dan prilaku “mengurung diri”, justeru banyak menggelaja di komunitas yang terlihat homogen.

Keindahan fitrah manusia itu laksana sekumpulan burung yang setiap petang senantiasa memendam rindu untuk pulang ke peraduannya. Seperti pulalah keindahan hidup bersama dan bertetangga. Dan ini hanya bisa di nikmati oleh halusnya rasa, akal budi dan hati yang senantiasa memancarkan cahaya Rabbnya. Sekali lagi, menghayati pentingnya adab hidup bersama dan bertetangga itu, setara menghayati pentingnya tanggungjawab pribadi setiap muslim di hadapan pengadilan ilahi kelak. Wallahua’lam. (*)

[Disarikan dari tulisan saya, “Hidup Bertetangga”, media Malut Pos, 22 Januari 2021]