Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

KEKAGUMAN itu terhitung tiga kali disampaikannya secara langsung saat bersua di berbagai kesempatan dan setiap kali lewat pesan WhatsApp ketika menyelesaikan membaca tema yang dipandang mengesankan. Kesan dan kekagumannya mengalir jernih, tulus dan seperti tak berujung.

“Buku ini harus dibaca oleh anak-anak kita, anak-anak muda yang tak sempat merasakan memori dan mengalami kisah hidup orang tua dan keluarganya di masa lalu, memperjuangkan kehidupan dengan berbagai suka dan duka.” Ini sedikit kutipan komentarnya.

Tak lupa, sedikit memori kisah hidup masa kecilnya. Menemani sang ibunda tercinta menjajakan ikan masak ke permukiman yang agak ke pegunungan, adalah bagian dari kesibukan masa kecilnya. Ini adalah bagian dari cara menyiasati hidup kala itu untuk bisa membeli beras, untuk jadi santapan keluarga di hari Jumat. Meski mungkin beras “tanpa label kualitas” seperti saat ini, itu tak penting. Menghormati hari Jumat adalah bagian dari kebiasaan baik masyarakat kita ketika itu, di tandai menu santap siang “paling mewah”, nasi dari beras tanpa label kualitas, mungkin di bawah minus medium.

Kadang saya merasa sedikit menjadi salah tingkah atas pujian dan kekagumannya meski saya merasa bisa memastikan bahwa itu semua disampaikan dengan hati dan kejujuran.

Semalam kami bersua di pembacaan doa setahun berpulangnya saudara perempuan saya, Nurlaela Husen, yang juga saya tulis sedikit kisah hidupnya, yang dibaca sosok kita kali ini.

Dan buku yang dimaksud, yang jadi teman setia menemani aktivitasnya sebagai pensiunan ASN saat ini, Cermin Retak Kehidupan, buku yang saya dedikasikan untuknya satu eksemplar, sebagai bagian dari keluarga sekaligus pula “penghargaan” atas dedikasinya. Ya, beliau adalah sosok yang paling kental dedikasinya dalam pandangan saya. Orang tua dari ipar saya Abdul Haris Ahmad, yang berpulang di usia muda, di Juli 2016 lalu.

Namanya Abdul Wahid Abubakar. Kami menyapanya Om Wahid. Sejujurnya, sebagai “putra tunggal” dalam keluarga yang tersisa, saya merasa dipertemukan Tuhan dengan keluarga sosok ini yang sangat membantu, terkhusus pada urusan domestik keluarga. Serasa kami saling berbagi beban yang berat ini. Panjang konten kisahnya jika harus ditulis lengkap.

Semalam saat sedang berbagi nostalgia hidup, saya menyambung komentar pendeknya di atas, “kita bisa membaca banyak buku, kalau hanya ingin mendapatkan informasi. Apalagi saat ini, ketika serbuan informasi jenis apa saja, bisa didapatkan dengan begitu mudah melalui berbagai platform, tinggal pilih. Tetapi mendapatkan sedikit hikmah dan pelajaran dari fakta kehidupan, belum tentu itu hal yang mudah. Apalagi itu adalah sedikit pelajaran dari fakta keseharian kehidupan kita, hingga cermin dari nilai dan pesan kehidupan di masa lalu, kita butuh kepekaan yang lebih untuk memilah-milah deretan fakta hidup itu untuk menjadi pesan yang bermakna bagi banyak orang.”

Saya mengungkap, awalnya saya hanya ingin menulis tentang kisah hidup di rentang waktu hingga saat ini saja. Semacam biografi sederhana, untuk jadi pengingat, pelajaran sekaligus kenangan bagi anak-anak dan keluarga saya kelak. Tetapi berkembang dan berubah jadi buku ini.

Jadi misi buku ini, mungkin sedikit senafas dengan dua saran teman di cerita kecil ini: beberapa hari lalu, ketika dirasa mulai ada disorientasi konten percakapan di sebuah grup WhatsApp yang kuat ciri akademis dan keislamannya, ada ide bikin diskusi tematik, biar lebih fokus kontribusi pikiran dan gagasannya, khusus jelang Ramadan. Ada macam-macam ide tema diskusi bermunculan. Saya mengutip dua saran ini, “Ramadan itu dibuka dengan diskusi qalbu, Alquran membahas kata qalbu 134 surat dan kata aqal 49 surat. Para guru besar, professor dan doktor sudah cukup dengan pengetahuan aqliya, sudah mumpuni pengetahuannya“. Itu saran salah satu anggotanya. Topik Diskusinya, Hidup Sesudah Mati, kajian buku Ustadz Bey Arifin. Dilanjutkan dengan Samudera Alfatihah. Saran teman lainnya.

Mungkin maksud mereka, di usia yang memasuki senja, “gizi rohani” mungkin lebih dominan dari berkutat dengan “puber intelektual”. Senafas pesan reflektif karib Taufiq F Pasiak, ilmuan otak dan prilaku di halaman pembuka buku saya yang jadi pengantar tidur Om Wahid di atas.

Om Wahid yang saya amati, sedikit dari sosok yang penuh perhatian, tipikal inisiator sekaligus “suksesor” dan berani “mengambil resiko” tampil paling depan, terkhusus pada urusan-urusan domestik rumah tangga dan keluarga di kampung. Domisilinya di Soajawa, kelurahan Soasio, Tidore. Fungsinya ibarat seorang gelandang serang di pertandingan sepakbola. Pengatur fungsi manajerial sekaligus suksesor sebuah hajatan di kampungnya.

Saya mengenang, membatin sekaligus ada yang lucu dari kisah hidupnya, saat menjadi kepala sekolah ST, sekolah kejuruan tehnik setara SMP saat itu, filial ST Negeri Ternate. Itu di penghujung 1970-an hingga awal 80-an. Di tunjuk mengisi karena beliau juga pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Daerah Administratif Halmahera Tengah saat itu.

Suatu saat, dipanggil Sekretaris Daerah AG Ely, yang profilnya pernah saya tulis, membantu karir beberapa pegawai kantor bupati yang berijazah “sangat sederhana sekali”, sebuah gejala umum saat itu, awal menjadi pegawai negeri. Bentuknya bisa dipikirkan untuk mereka bisa mendapatkan ijazah setingkat lebih tinggi. Om Wahid “sukses” melaksanakan perintah atasannya.

Saya mengenang peran yang sama, ketika saya dan teman-teman bisa menolong banyak guru honorer hingga tenaga administrasi di sekolah untuk masuk dalam data base honorer, yang kemudian diangkat menjadi pegawai pemerintah. Itu terjadi di tahun 2005, memasuki periode ke Presiden SBY dan terbilang langkah berani yang “sukses besar”.

Semalam baru saya tahu kisah ini. Dokter Abdullah Maradjabessy, yang profilnya pernah saya tulis juga, sang ayah tercintanya ternyata berpulang di pangkuan Om Wahid kala itu. Itu terjadi Rumah Sakit Umum Soasio, saat beliau juga sedang menemani keluarganya yang sakit. Ada pesan wasiat almarhum yang disampaikan padanya dan telah tertunaikan.

Sayang sekali, banyak dari pelajaran, nilai-nilai kebaikan dan cermin kehidupan malam tadi harus bersambung lagi karena ada “interupsi” dari ruang dalam, doa di penghujung tahlilan pertanda shahibul hajat segera “bersibuk”. Inspirasi kehidupan dari sosok ini, memang mengalir tak pernah kering. Wallahua’lam. (*)