Berkali-kali dalam berbagai kesempatan beliau selalu menekankan agar menggunakan hati nurani dalam penanganan perkara. “Saya sebagai Jaksa Agung, tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan saya juga tidak butuh jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para jaksa yang pintar dan berintegritas. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani.

Apa yang beliau sampaikan tentunya sangat relevan dengan kondisi penegakan hukum kita yang mengalami titik nadir. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya praktik-praktik korup dalam system peradilan kita menandakan tiadanya kendali moral dalam menjalankan tugas. Hukum tidak punya nurani. Yang punya nurani adalah yang menjalankannya yaitu penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu hukum memerlukan bantuan etika, moral dan budaya dalam menggerakkannya agar tidak tidak mencederai rasa keadilan. Jaksa Agung Burhanuddin sangat memahami bahwa penegakan hukum tanpa nurani hanya akan menimbulkan kekecewaan pada masyarakat dan akhirnya masyarakat tidak percaya lagi dengan aparat selaku pelaksana hukum. Inilah tampaknya yang menjadi titik utama perhatian Jaksa Agung Burhanuddin untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum khususnya kejaksaan.

Bahwa kemudian ketika muncul banyak kasus-kasus kecil yang tetap diproses oleh penegak hukum sehingga menimbulkan stigma negatif dari masyarakat, momentum ini kemudian dimanfaatkan oleh beliau dengan mengeluarkan Peraturan jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif Jaksa Agung Burhanuddin berusaha untuk menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi hati nurani. Melalui pendekatan hukum berdasarkan hati nurani ini, diharapkan agar kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat, seperti kasus Nenek Minah dan kasus Kakek Samirin tidak akan pernah terulang lagi.

Peraturan Jaksa Agung tentang Keadilan Restoratif adalah regulasi pertama di Indonesia yang dapat menjangkau lapisan usia dewasa untuk diterapkannya konsep keadilan restoratif. Konsep keadilan restoratif sebelumnya hanya untuk pelaku anak sebagimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Bahwa apa yang beliau lakukan ternyata tidaklah sia-sia. Untuk pertama kali sepanjang sejarah, Kejaksaan mendapat nilai tertinggi dalam kepercayaan publik di bawah komando Jaksa Agung Burhanuddin.

Dalam rilis survei Indikator Politik Indonesia pada 30 April 2023, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik kepada Kejaksaan berada di level tertinggi yaitu mencapai 80,6 persen dan menempatkan Kejaksaan di posisi tertinggi di antara lembaga penegak hukum lainnya. Tampaknya besarnya kepercayaan publik kepada kejaksaan ditengarai dengan kebijakan restorative justice ini. Persepsi bahwa hukum hanya tajam di bawah dan tumpul di atas perlahan tidak terdengar lagi tapi berganti dengan tajam ke atas, humanis ke bawah.

Berkat kebijakan restorative justice ini pula, Jaksa Agung Burhanuddin dipinang oleh Universitas Jenderal Soedirman untuk menjadi Guru Besar tidak Tetap pada Universitas Jenderal Soedirman. Pihak Universitas memiliki pandangan jika Bapak Jaksa Agung dalam proses penegakan hukum terus menyuarakan kepada para Jaksa untuk menggunakan hati nurani.