Oleh: Anan Mujahid

Mahasiswa Ilmu Hukum Tatanegara Universitas Muhammadiyah Sorong

_______

INDONESIA di tahun ini menyelenggarakan perhelatan akbar demokrasi berupa pemilu serentak pada bulan Februari dan juga pilkada serentak yang segera dilaksanakan. Karena itulah, sebagian besar kalangan mengatakan “2024 adalah tahun politik”.

Ada salah satu wacana yang dominan dalam ruang publik yakni istilah “Independent woman”, yang banyak digemakan oleh para aktivis pegiat gender. Dapat diartikulasikan, maksud di balik independent woman adalah perempuan harus mendapat perolehan kuota 50% di parlemen dengan prioritas utamanya mengakomodir aspirasi sesama perempuan dan upaya melawan patriarki.

Sebagai upaya untuk melawan sistem patriarki dan tuntutan kesetaraan, Independent Women sangatlah masif digemakan oleh para aktivis pegiat gender. Namun hal ini, masih menyisakan teka-teki dan tak luput dari beragamnya kritikan.

Begitupun, penulis sendiri dalam beberapa kesempatan mengikuti wacana mengenai gender, baik melalui dialog, maupun diskusi yang dilakukan. Istilah Independent Women justru terkesan mereduksi peran perempuan dalam aspek lain dan hanya pada aspek politiklah yang sangat dominan.

Seperti halnya, istilah ini disematkan kepada perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun, bergabung dengan partai yang memiliki rekam jejak buruk di kancah perpolitikan Indonesia. Pertanyaan dan telaah secara kritisnya ialah; mengapa tidak membentuk partai alternatif untuk membangun gerakan yang progresif? Dan mengapa memilih partai yang ditunggangi oligarki? Bukankah Independent semestinya tidak ada lagi hal-hal lain yang mendeterminasi?

Begitupun, apabila menilik kembali fenomena beberapa tahun terakhir, terjadi demonstrasi besar-besaran sebagai reaksi atas penolakan undang-undang yang disahkan oleh DPR RI secara ugal-ugalan dan telah diketahui bersama identitas dari ketua DPR RI tersebut.