Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
________
PAGI tadi di sebuah WAG, saya membaca postingan berita ‘cerita sukses’ salah satu pemerintah daerah yang bisa meraih award bergengsi dalam hal pengendalian inflasi daerah. Saya menanggapi guyon dengan berkomentar soal maraknya pedagang ikan mentah yang menjajakan jualannya di titik tertentu di jalan-jalan utama di dalam kota, meski telah ditertibkan oleh pemerintah daerah, dibubuhi pertanyaan mengapa tak dibawa berjualan ke pasar ikan saja, apa ada korelasinya dengan inflasi yang dipicu harga ikan dengan biaya transportasi.
Cerita lepas di teras kediaman seorang karib malam itu, terungkap beberapa informasi yang bagi saya, menarik diulas. Setidaknya, ada fakta komunitas di dua kampung di Tidore yang sedang bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Halmahera Tengah, menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk mengikuti ibadah kurban di Idul Adha kemarin di kampung mereka, berupa hewan kurban sapi.
Di cerita lain, karib saya di sebuah kampung agak ke gunung di Tidore, menceritakan kisah asmaranya mendapatkan jodohnya seorang istri yang kebetulan adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang dulunya bernama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Mereka belum lama menikah. Kisah asmara mereka hingga berakhir di pelaminan, berawal dari pertemuan di media sosial. Sedikit banyak saya mendapatkan informasi seputar besaran pendapatan dari gaji pekerja migran di berbagai level, yang memberi banyak implikasi dan kesejahteraan ekonomi baginya, sebelum dia menikah.
Di salah satu tulisan pendek ini, saya pernah menulis pertemuan saya dengan dua karyawan sebuah perusahaan tambang di Lelilef, kabupaten Halmahera Tengah di pelabuhan penyeberangan Bastiong, Ternate, di larut malam, yang hendak menyeberang pulang ke Tidore menjenguk keluarganya yang sakit dan paginya harus balik lagi mengejar shift kerja. Di pertemuan dengan dua anak muda di waktu yang berbeda itu, yang kebetulan pernah menumpangi mobil saya, saya mendapatkan beragam informasi. Mulai dari prospek memelihara ‘asap dapur’ ekonomi keluarga, risiko pekerjaan hingga tantangan melewati rimba dan menyeberang lautan di malam hari, di saat-saat emergency.
Di Tidore, di kampung-kampung tertentu, seperti juga di tempat lain, punya stock kelompok pekerja bangunan yang banyak. Kelompok ini bisa bekerja di beberapa daerah di Maluku Utara hingga keluar daerah. Dan dari informasi yang saya dapat, punggung ekonomi keluarga, relatif di sanggah secara luar biasa oleh mereka-mereka ini.
Di daerah yang perlakuan investasi ekonominya masih didominasi pemerintah melalui APBD, memang agak sulit bagi mereka jika tak punya pilihan lain, di saat APBD belum jalan ataupun periodenya telah selesai. Atau bisa juga karena kesempatannya terbatas bagi mereka untuk bisa bekerja pada paket pekerjaan bangunan pemerintah. Mereka-mereka ini harus pandai melihat peluang, apapun tantangan yang dihadapi, termasuk meninggalkan keluarganya berbulan-bulan, karena hanya itu pilihannya di tengah tingginya biaya hidup.
Entah ini dipikirkan oleh instansi di pemerintah daerah yang punya tugas pokok untuk itu atau tidak, sedikit kita berandai-andai soal kontribusi mereka terhadap ekonomi daerah, karena saat menulis ini, saya tak punya data tentang berapa jumlah mereka: jika jumlah anggota dalam kelompok ini ada seratus orang dan dari setiap paket pekerjaan per tiga bulan, masing-masing mendapatkan upah Rp 10 juta maka didapatkan angka Rp 1 miliar. Jika dibuka 30 persen untuk total pengeluaran, termasuk biaya ‘hidup di rantau’, masih tersisa Rp 700 juta yang berpotensi di bawa pulang, untuk dibelanjakan dan saving di daerahnya. Kita semua pasti paham apa implikasi ekonominya bagi keluarga mereka dan bagi daerah ini, dalam rentang tiga bulan untuk satu saja paket pekerjaan yang dikerjakan.
Tinggalkan Balasan