Oleh: Nuranisa Fataruba
_______
TIDAK sedikit kita mendengar kisah heroik para filsuf yang rela mati hingga runtuhnya sebuah kerajaan hanya karena ulah perempuan dalam sebuah relasi politik.
Raja Jayanegara yang mati akibat gosip mencabuli istri Tanca dalam legenda kerajaan Majapahit.
Pemikir hebat dalam Madilog, Tan Malaka yang menolak menikah akibat trauma dengan hubungannya dengan Aisyah Nawawi yang kandas karena situasi politik. Soe Hok Gie pergi memeluk Semeru dengan keadaan yang tidak membaik dengan sang pujaan hati dan memilih tak pernah kembali. Rocky Gerung yang menolak menikah sebab takut kekritisannya terkikis oleh tanggung jawab biduk rumah tangga.
Begitu variatif meletakkan posisi perempuan pada sebuah peristiwa politik. Namun, untuk membaca pengaruhnya, kita bisa menyelam dalam novel Cantik Itu Luka milik Eka Kurniawan.
Perangai perempuan dan perawakan anggun nan rupawan, mampu menghipnotis sebuah tatanan dan situasi politik. Jika tak mampu secara gagasan, perempuan punya kepiawaian lain yang bisa membelok haluan politik suatu negara hingga hierarkis nya sampai ke desa. Begitu berbahayanya, sehingga kehadiran perempuan menurut Ariestoteles adalah manusia laki-laki yang gagal.
Dewasa ini, perempuan mempunyai kesempatan besar untuk menduduki posisi-posisi strategis di ruang publik. Namun, seringkali tidak relevan dengan kualitasnya. Kita bisa membaca fakta itu pada beberapa keputusan politik yang tak mampu mengakomodir kepentingan publik. Terutama kepentingan perempuan.
Tinggalkan Balasan