Oleh: Igrissa Majid

Alumni Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
_______
KAUM intelektual dari berbagai kampus mengambil peran terhormat, tampil di posisi terdepan menentang segelintir elite yang sengaja mendesain sistem politik despotik yang perlahan menghancurkan demokrasi dengan cara-cara tidak lazim. Misalnya, perubahan konstitusi dan politisasi bantuan sosial (bansos) jelang pemilu.

Sebagaimana kita ketahui, despotisme atau despotik bukan istilah anyar dalam dunia politik. Montesquieu, filsuf era pencerahan, telah memasukkannya dalam kosakata politik ketika melihat demokrasi mulai mengalami kehancuran ekstrem, oleh karena timbul kesenjangan dalam kebebasan masyarakat yang menjadi korban kekuasaan yang tidak bertanggung jawab.

Dalam buku The Spirit of Laws (1748), sebagaimana diulas V.B Sullivan (2018), Montesquieu menjelaskan sistem despotisme merupakan ancaman terhadap perkembangan umat manusia dimanapun dan kapanpun. Termasuk mereka yang berada di luar kezaliman kekuasaan sekalipun bisa menjadi korban. Bahkan pendidikan tempat bertumbuhnya pikiran tidak terlalu diperlukan dalam pemerintahan despotisme. Jika ada, itu dianggap sesuatu yang sangat mengganggu.

Dalam literatur lain, despotisme memiliki dua perbedaan bentuk atau karakter: keras dan lunak, yang pertama kali diperkenalkan Alexis de Tocqueville. Menurut filsuf Prancis ini, despotisme keras dapat dibaca dalam sejarah Caligula dan Hitler yang dicerca tetapi diperlakukan setara dengan Alexander dan Napoleon. Berbeda dengan despotisme lunak, yang sulit menemukan siapa yang paling bertanggung jawab atas sebuah persoalan.

Tampilan luarnya menampakkan suasana damai, seolah-olah tidak ada satu hal pun yang berbahaya. Tocqueville mengatakan, despotisme lunak selalu menempatkan posisi rakyatnya pada titik ketidaktahuan dan ketergantungan. Karena itu, dalam bukunya Democracy in America (1835), Tocqueville menggambarkan despotisme lunak telah membuat setiap individu masuk dalam kekuasaannya; membius dan merendahkan tidak lebih dari kawanan hewan, lalu pemerintah yang menjadi penggembalanya.

Persis dengan fenomena despotisme di Indonesia hari-hari ini yang meresahkan publik. Komitmen berdemokrasi diluluhlantakkan dengan skenario atas kepentingan politik yang saling menunggangi tanpa batas. Kekuasaan despotik menggunakan sistem demokrasi untuk menjadi satu-satunya alasan supaya dapat menyamarkannya dari amatan publik. Masalahnya, alasan ini tidak dapat diterima berdasarkan argumentasi ilmiah.

Karena itu, gerakan perlawanan kampus yang berisikan kaum intelektual telah menolak keras berbagai praktik kecurangan pesta serakah demokrasi. Dan di waktu bersamaan muncul tudingan paling sadis dari kaki tangan istana negara dengan narasi terkait sikap kaum intelektual bermotif politik. Lebih provokatifnya lagi, mereka secara apriori menganggap kaum intelektual yang berani menyatakan sikapnya tidak mewakili semua insan akademik yang sedang mengabdi di kampus.