Di kampung tersebut, jarak melintasi tanah genting hanya 2 mil, dan terdapat jalan setapak yang bagus, yang dilalui beras dan sagu dari desa-desa sebelah timur. Seluruh tanah genting sangat terjal, meski tidak tinggi, yang merupakan rangkaian perbukitan dan lembah kecil, dengan massa batu kapur bersudut, dan sering kali hampir menghalangi jalan setapak.

Pondok Wallace terletak di dataran rendah, bagian desa yang saat ini menjadi kampung tua. Kampung baru yang belakangan dibangun setelah pertambahan penduduk terletak di atas bukit. Dari benteng kala itu terlihat pondok Wallace.

Pecahan tembikar yang berserakan di sekitar benteng. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

***

George membawa kami berjalan menuruni bukit menuju kawasan tempat tinggal Wallace. Pondok Wallace diyakini terletak di salah satu titik di sebuah lorong yang kini disebut Lorong Soakonora. Rumah-rumah di lorong itu berjajar, sebagian menghadap ke arah sungai, sebagian lagi membelakanginya.

Di ujung lorong, di depan rumah Bakri Aceh (91 tahun), terdapat sumur tua yang telah ditutup semen dan kini menjadi jalan. Sumur itu kerap disebut sumur Jepang, meski usianya jauh lebih tua dari invasi Jepang di Indonesia.

Petunjuk lorong itu sebagai tempat tinggal Wallace, kata George, adalah gambaran Wallace bahwa ada benteng di atas bukit dekat tempat tinggalnya. Lalu sumber air bersih yang dekat, yang dilaluinya dengan perahu. Air tersebut masih terasa asin, namun di titik yang lebih jauh dari laut, tepat di ujung Lorong Soakonora, rasanya sudah tawar.

Sungai kecil sumber air bersih yang digunakan Wallace selama berada di Dodinga. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

“Jadi saya yakin, Wallace pasti memilih area yang mudah didapatkan air bersih dan segar,” ujarnya.

Dodinga pada tahun 1858 sebagian besar merupakan hutan perawan, sangat subur dan indah. Wallace menuliskan, kampung itu memiliki banyak Ixora merah besar yang berbunga. Ia mendapati beberapa serangga yang sangat bagus untuk koleksinya di sini.

Di Dodinga, Wallace beberapa kali terserang sakit. Alhasil, koleksinya terbilang sedikit ketika berada di desa itu. Namun di desa itu pula, dalam kondisi sakit (kemungkinan malaria), Wallace melahirkan Teori Evolusi oleh Seleksi Alam.

George dalam artikelnya yang diterbitkan Research Gate pada Mei 2019 berjudul Dodinga: Birthplace of Alfred Russel Wallace’s Theory of Evolution by Natural Selection menyebutkan, Wallace tiba di Ternate pada 8 Januari 1858, menghabiskan 14 hari pertamanya di Ternate, lalu melanjutkan perjalanan ke Pulau Halmahera di mana ia lebih banyak tinggal di Dodinga.

“Jadi dia berangkat ke Pulau Halmahera dari Ternate sekitar tanggal 21 Januari 1858,” tulisnya.

Wallace, sambung George, kembali ke Ternate dari Dodinga sekira tanggal 1 Maret 1858. Sementara esainya tentang Teori Evolusi oleh Seleksi Alam diberi tanggal Februari, ketika ia masih di Dodinga.

Wallace sendiri dalam bukunya Natural Selection and Tropical Nature (1891) menuliskan tentang ilham yang ia dapatkan akan teori besar tersebut.

“Setelah menulis makalah sebelumnya [yaitu “Hukum Sarawak”, diterbitkan pada tahun 1855 (Wallace, 1855)] pertanyaan tentang bagaimana perubahan spesies yang bisa dihasilkan jarang terlintas dalam pikiran saya, tetapi tidak ada kesimpulan memuaskan yang dicapai hingga Februari 1858. Pada waktu itu saya terserang demam yang agak parah, dan suatu hari saat berbaring di tempat tidur saat pilek, terbungkus selimut, meskipun termometer berada pada suhu 88º F, masalah itu kembali muncul dengan sendirinya kepadaku, dan sesuatu membuatku berpikir dari ‘pemeriksaan positif’ yang dijelaskan oleh Malthus dalam ‘Essay on Population,’ sebuah karya yang telah saya baca beberapa tahun sebelumnya, dan meninggalkan kesan yang mendalam dan permanen di benak saya. Faktor-faktor yang memengaruhi seleksi alam -perang, penyakit, kelaparan dan sejenisnya – saya berpikir, terjadi pada hewan juga seperti halnya pada manusia. Bahkan pada hewan lebih efektif dibandingkan pada manusia; dan sambil merenung samar-samar atas fakta ini, tiba-tiba terlintas di benakku gagasan tentang survival of the fittest – bahwa individu-individu yang disingkirkan melalui faktor-faktor ini secara keseluruhan pasti lebih rendah daripada mereka yang selamat. Dalam dua jam yang berlalu sebelum penyakitku berakhir, aku sudah memikirkan keseluruhan teorinya, dan pada malam yang sama saya membuat sketsa draf makalah saya, dan pada dua malam berikutnya saya menulisnya secara lengkap, dan mengirimkannya melalui pos berikutnya ke (Charles) Darwin.”

Menurut George, alasan Wallace menuliskan kata “Ternate” pada penutup suratnya ke Darwin adalah lantaran Ternate adalah pulau yang dijadikan basisnya di Maluku Utara, dan karena Ternate adalah alamat surat-menyuratnya. Kemungkinan besar juga Wallace menuliskan versi yang lebih rapi dari esainya sekembalinya dia ke tempat tinggal yang lebih nyaman di Ternate, yang juga bisa menjelaskan mengapa di akhir suratnya ia menuliskan kata “Ternate” alih-alih Dodinga.

***

Saat ini, pondok tempat Wallace tinggal di Dodinga sudah mustahil ditemukan. Lorong Soakonora kini diisi rumah-rumah beton dan jalan setapak yang disemen. Namun untuk memperingati keberadaan Wallace di Dodinga 2 abad lalu, George dan SeaTrek berniat mendirikan monumen peringatan di lokasi tersebut. Plakat beton itu rencananya diresmikan pada 5 Oktober 2024, saat trip Wallace berikutnya.

Bill Wallace, cicit Alfred Russel Wallace, bakal datang dari Kanada untuk bergabung dengan trip tersebut. Bill dijadwalkan menjadi salah satu orang yang meresmikan monumen itu.

Kris Syamsudin memastikan dukungan penuh yang akan diberikan pemerintah dalam pembuatan monumen itu. Monumen juga bakal dilengkapi papan informasi tentang jejak Wallace di Dodinga.

“Alfred Russel Wallace adalah tokoh dengan kiprah yang begitu besar dalam ilmu pengetahuan, khususnya keanekaragaman hayati. Dan Maluku Utara beruntung karena menjadi lokasi yang ditinggali Wallace kurang lebih selama 4 tahun. Tentunya itu berarti jejak Wallace di Maluku Utara ini sangat banyak, tapi sayangnya masih kurang diperhatikan dan dimanfaatkan untuk menarik peminat sejarah dan biodiversitas untuk datang,” tuturnya.

Sebagai pecinta Wallace, Kris ingin karya-karya besar Wallace dikenal dari generasi ke generasi. Apalagi, ilmuwan tersebut juga membuat Garis Wallace, sebuah garis imajiner yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia.

“Pembuatan monumen ini merupakan langkah membangkitkan kesadaran akan jejak besar Wallace di Dodinga, dan Maluku Utara pada umumnya. Kita patut berbangga dengan sejarah keanekaragaman hayati daerah ini, dan tujuan jangka panjangnya adalah bagaimana melindungi biodiversitas itu. Ketika masyarakat sadar akan kekayaan itu dan betapa pentingnya perannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dunia, maka mereka akan terlibat dalam menjaganya,” ujarnya.

Hari itu, Kris, Hairiah, George, dan Jeni berdiskusi banyak dengan Kepala Desa Dodinga, Rinto. Diskusi itu menghasilkan penetapan titik pembangunan monumen peringatan Wallace, yakni tepat di tepi jalan seberang Lorong Soakonora.

Plakat monumen tersebut akan dipesan Jeni di Bali, tempat SeaTrek bermarkas. SeaTrek, yang juga punya perhatian besar terhadap upaya-upaya konservasi alam, tak ingin ketinggalan dalam aksi kali ini. Apalagi, tiap tahun SeaTrek dengan kapal-kapalnya mengantarkan tetamu menapaktilasi perjalanan Wallace mengidentifikasi biodiversitas Nusantara.

Kawasan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, oleh peneliti diibaratkan sebagai laboratorium alam raksasa. Di dalamnya terhampar kekayaan alam dengan keragaman hayati luar biasa.

Dilansir dari Kompas.id, Peter Wilkie, Kepala Peneliti Sapotaceae pada Royal Botanic Garden Edinburgh, Skotlandia, menyebut keragaman hayati di kawasan Wallacea sangat masif. Sejauh ini tercatat ada sekitar 10.000 spesies tanaman di kawasan tersebut yang mana 1.500 spesies termasuk endemis. Itu belum termasuk jenis burung, mamalia, dan reptil yang tingkat endemisnya sekitar 50 persen.

Namun untuk mempertahankan kekayaan itu kian menemui tantangannya belakangan ini dengan masifnya deforestasi untuk kepentingan permukiman maupun industri. Memori tentang Bapak Biogeografi itu diharapkan jadi pendorong perlindungan biodiversitas Maluku Utara.