Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
_______
INI lebih seru, melebihi “kisah masker” di Ramadan pada tulisan saya sebelumnya. Seorang karib berkisah soal ketidaksetujuannya atas perilaku seorang pengelola tempat ibadah karena mengomel dan mencak-mencak pada seorang tua yang sangat dihormati di lingkungannya. Tapi omelan ini tak secara langsung tetapi di jamaah lainnya yang barusan selesai beribadah. Sebabnya menurut karib ini sepele, bahkan bisa dibilang tak masuk akal: orang tua tadi menggeser sajadah. Tak jelas, entah hendak membetulkan posisinya atau menggeser ke tempat lain. Tapi apapun itu, tak penting, terlalu sepele dan bodoh.
Kisah lain, di sebuah tempat ibadah lain yang saya alami, sedikit lebih “tragis”: dua orang jamaah salat Magrib memilih keluar masjid, entah memilih salat di tempat lain ataupun di rumah, yang menurut “riwayat” seorang pengelolanya, mereka tak mau bermakmum pada sang imam yang dianggap tak fasih melafazkan bacaan-bacaan dalam salat karena memang ada cacat fisik tertentu yang mempengaruhi kualitas suaranya, yang jadi pemicunya. Padahal sang imam ini adalah staf imam yang diangkat di masjid itu. Saya pertama kali mengalami situasi seperti ini dalam hidup hingga hari ini.
Di kesempatan lainnya, seorang “guru” berpesan, setelah kami mendapatkan perlakuan yang “kurang manusiawi”: di tinggalkan sang pemilik rumah sambil minta permisi pada kami untuk menunaikan salat saat sedang bertamu di teras rumahnya. Dia mantan pejabat tinggi di Maluku Utara. Pesan sang guru ini, beliau, sang tuan rumah tadi tak mendapatkan apa-apa. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Saya memaknainya, menunda waktu salat karena menghargai tamu, lebih utama. Kami menyeberang laut untuk bertamu padanya di malam hari.
Sering sekali kita dengar ocehan hingga tuntutan setiap orang menuntut untuk dihargai. Ada ungkapan, jika mau dihargai, hargai dulu orang lain. Kewajibannya duluan ditunaikan baru menuntut hak. Ada benarnya, tetapi urusan “menghargai” lebih dari sekadar soal hak dan kewajiban.
Menghargai, bisa berarti sikap peduli dan beradab terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan lingkungan, memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dipedulikan, sopan, beradab, tidak melecehkan dan menghina orang lain, tidak menilai orang lain buruk sebelum mengenal dengan baik. Ini arti yang terbaca dari “buku”.
Saya agak lama juga menjadi guru di sebuah SMA, yang salah satu pokok bahasan mata pelajaran yang diasuh bertema menghargai. Ada juga tema saling menghormati, kerukunan, keadilan hingga keikhlasan. Tema-tema tentang sikap hidup, yang harus jelas diberikan konteksnya agar tidak diterjemahkan secara serampangan, apalagi mengikuti pendapat setiap orang.
Tinggalkan Balasan