Dari pengertian desa dan kelurahan terdapat benang merah bahwa desa memiliki kewenangan otonom untuk mengatur dirinya sedangkan kelurahan tidak otonom dan semuanya bergantung pada niat baik pemerintah. Banyak potensi dan sumber daya yang hilang karena kontrol dan kendali penuh pemerintah daerah maupun pusat. Padahal sebelumnya, kelurahan-kelurahan itu adalah desa yang memiliki hak kelola atas SDA-nya atau pula, kelurahan yang masih bercirikan desa dan memiliki potensi SDA yang besar.

Mengapa Harus Desa?

Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, maka desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda.

Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dijelaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri sesuai kondisi dan sosial budaya setempat.

Kondisi Faktual

Ciri desa ditandai dimana desa dan masyarakatnya sangat dekat dengan alam. Kegiatan mereka sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Penduduk desa merupakan satu unit kerja dan unit sosial. Dengan jumlah yang tak besar, mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Ikatan kekeluargaan penduduk desa lebih kuat dengan penduduk lain.

Sedangkan kelurahan adalah daerah pemerintahan yang paling bawah yang dipimpin oleh seorang lurah. Ciri-ciri wilayah kelurahan umumnya berada di perkotaan. Warga kelurahan kurang saling mengenal ataupun tidak memiliki ikatan batin yang kuat antara warga yang satu dan yang lain.

Berdasarkan uraian ciri khas dan karakteristik desa dan kelurahan di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa 18 kelurahan di Kecamatan Pulau Moti dan Kecamatan Batang Dua lebih bercirikan desa daripada kelurahan.

Selain ciri khas di atas, 18 kelurahan juga memiliki rentang kendali wilayah yang sangat jauh dengan pusat pemerintahan.

So, fakta rentang kendali itu berkonsekuensi logis pada problem percepatan akselerasi pelayanan publik dan pembangunan. Apa yang kita saksikan kasat mata dan yang kita ikuti selama ini terutama lewat media bahwa tuntutan keadilan pelayanan pembangunan bergema lantang dari kedua kecamatan pulau tersebut. Kondisi yang menandai problem rentang kendali wilayah menjadi salah satu problem serius dalam isu pembangunan.

Pemerintah Kota Ternate, Wali Kota M Tauhid Soleman seperti yang kerap dicurigai bukannya tak adil dalam kebijakan pembangunan namun terbatasnya ruang fiskal di APBD Kota Ternate dan persoalan rentang kendali wilayah tidak memungkinkan untuk melakukan akselerasi pembangunan ke wilayah Kecamatan Pulau Moti dan Batang Dua secara adil dan setara dengan kelurahan-kelurahan di Ternate sebagai pusat pemerintahan dan pusat kota.

Pemerintahan Kota Ternate baik eksekutif dan legislatif sejak era Wali Kota Syamsir Andili, Burhan Abdurahman sampai Tauhid Soleman justru sedang dan terus mencari strategi dan formulasi kebijakan pembangunan dan pelayanan publik yang efektif dan maksimal dalam mewujudkan pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat Kota Ternate. Namun lagi-lagi kembali pada soal rentang kendali wilayah dan sempitnya ruang fiskal.