Di satu sisi, jika semua persoalan hanya dilihat dari bagian hitam putihnya aturan, maka tidak ada nilai hukum yang akan tumbuh menghidupkan keadilan, dan tidak ada keadilan yang dapat merefleksikan negara hukum.

Sebagai warga negara, kita mempunyai kekuatan untuk memperbaiki sistem hukum. Sebagai orang yang berakal sehat, tentunya berbeda pendapat terhadap praktik hubungan kekerabatan yang berimplikasi pada ketidakadilan.

Mestinya, hubungan kekerabatan di setiap jabatan publik harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan, dan bertindak sesuai dengan itu. Sebab, kita tidak hanya sebatas mengoreksi aparatur negara memprioritaskan “siapa yang lebih dikenal, siapa yang diketahui, dan siapa yang paling dekat.” Lebih dari itu, hubungan kekerabatan dalam jabatan publik seringkali melahirkan “kumpulan keluarga” yang bergerombol dalam penindasan, bersolidaritas untuk menghambat keberdayaan warga negara lainnya, dan menciptakan jurang ketimpangan.

Karena itulah, hakikatnya kita harus berpulang pada jiwa Dike, Eunomia, dan Eirene, mereka bukan sekadar saudara kandung secara biologis, melainkan sekandung dalam keadilan, ketertiban dan perdamaian yang berkontribusi antar sesama. (*)