Karena itu, lanjutnya, bukan soal cuaca, tetapi karena manusia. Hal ini bisa disimpulkan bahwa pemicu kelaparan bukan semata fenomena alam. Justru penanganan dari pemerintah tidak bersentuhan langsung dengan akar masalah. Salah satunya, adalah tata kelola anggaran daerah mengenai sistem pangan yang tidak efisien. Sebab, fenomena alam adalah hal yang lazim terjadi.
Selanjutnya, faktor tata kelola anggaran yang mestinya bersentuhan langsung dengan problem sosial harus dirumuskan secara matang. Fenomena alam jangan sampai menjadi dalih bagi pemerintah pusat maupun daerah melepaskan tanggung jawabnya dalam mendesain kebijakan untuk mengurai sebab akibat dari problem kelaparan. Memang, daerah pegunungan Papua terkenal punya tantangan tersendiri sehingga penguatan sistem pangan mengalami kendala.
Dalam ketentuan perundang-undangan, penegasan mengenai perencanaan pangan tergambarkan secara eksplisit, bahwa tata kelola pangan harus berangkat dari sistem perencanaan bersifat integratif, mulai dari pusat hingga daerah (Pasal 8 UU 18 tahun 2012 tentang Pangan).
Jika di kemudian hari timbul ancaman produksi pangan karena cuaca, bencana alam, pencemaran lingkungan, bencana sosial, degradasi sumber daya lahan dan air, alih fungsi lahan, termasuk disentif ekonomi, maka jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman tersebut melalui bantuan teknologi dan regulasi (Pasal 22), termasuk pengalokasian anggaran (Pasal 18).
Isyarat dalam aturan tersebut di atas jelas berkelindan dengan kebijakan kekuasaan. Dasar kebijakan yang terurai dalam ketentuan perundang-undangan tidak sepenuhnya dijalankan. Di sini, pemikiran Amartya Sen bisa kita letakkan sebagai landasan argumentasi, bahwa kelaparan sesungguhnya bukan soal makanan. Justru lebih dari itu, yaitu untuk mendapat pengakuan lewat kekuasaan atas apa yang dikonsumsi setiap hari (Patel, 2012). Pengakuan ini perlu diartikan secara luas di dalamnya menyangkut pengembangan pangan lokal sesuai kebiasaan masyarakat setempat.
Pemikiran yang sama juga pernah dilontarkan Naomi Hossain dari Institute of Development Studies (2017). Menurutnya, masalah kelaparan juga berakar dari ketidaksetaraan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Sehingga, langkah utama yang harus ditempuh dalam perumusan kebijakan adalah memahami bagaimana suatu komunitas/masyarakat dibesarkan dalam ketidaksetaraan kekuasaan yang bekerja dalam sistem pangan. Secanggih apapun kekuasaan beroperasi akan rumit untuk menghasilkan keuntungan bagi masyarakat, selama kebijakan kekuasaan hanya menyesuaikan dengan seleranya sendiri, entah seberapa praktis, teknis, atau terukurnya, tidak mungkin akan mencapai keberhasilan.
Tinggalkan Balasan