Pemikiran atau renungan seseorang dalam memantau kehadiran dirinya dan alam sekitarnya, dari awal dan kesudahan, untuk apa dan siapa, dinamakan orang berfalsafah. Setiap bangsa pasti memilikinya sebagai fenomena kehidupan. Dari rasa pikir inilah timbul dorongan guna mengungkapkan pandangan para leluhur orang Ternate, dengan tutur kata orang Ternate disebut sebagai “Falsafah Adat Ternate”.

Tutur bermakna filosofi peninggalan budaya leluhur. Menurut orang Ternate di masa tempo dulu, awal mula kehidupan dimulai dari dua sosok manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Dari kedua orang lelaki dan perempuan inilah lahir masyarakat, maka dalam pandangan orang Ternate, lelaki dan perempuan pasangan utama itu merupakan awal kehidupan sehingga lelaki dan perempuan menjadi lambang utama dalam pandangan masyarakat adat Ternate.

Menurut legenda yang dituturkan pemiliknya, awal terbentuknya kesatuan masyarakat di Ternate oleh dua kelompok marga yaitu: Tobona dan Tabanga. Marga Tobona disebut dengan nama Cim (perempuan), sedangkan marga Tabanga dengan nama Heku (laki-laki).

Kedua marga ini kemudian menjadi besar, serta merta melahirkan kesatuan masyarakat dengan penguasa berbentuk kerajaan. Maka sebagai pertanda untuk itu, pelambang kerajaan berupa elang berkepala dua. Elang darat yang dalam bahasa Ternate disebut “Wuru”, ialah lambang untuk kelomopok Cim (perempuan), sedangkan elang laut yang dalam bahasa Ternate disebut “Guheba”, ialah lambang untuk kelompok Heku (lak-laki). Heku dan Cim terpancang dengan lambang elang berkepala dua dipakai sebagai lambang kerajaan. Lambang ini yang mengandung makna filosofis ini dituangkan dalam berbagai sarana kehidupan adat, yang mengunakan makna lelaki-perempuan antara lain:

Pada rumah, terdapat dua balok panjang bagian atas yang disebut “dalul se hate gila”, yakni kayu perempuan dan kayu laki-laki, sebagai pengukuh tegaknya rumah, kehidupan rumah tangga.