Tandaseru — Anggaran pemulihan ekonomi dan penangan Covid-19 Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara diduga telah dipolitisasi pihak-pihak tertentu. Anggaran yang berasal dari Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp 12,5 miliar itu bakal diberikan kepada para pelaku usaha yang terdampak pandemi.
Dugaan adanya politisasi bantuan itu muncul setelah DPRD Kota Tidore Kepulauan menerima laporan soal pendataan yang dilakukan oknum-oknum tertentu kepada pelaku UMKM. Mencuat dugaan, politisasi bantuan itu untuk kepentingan Pemilihan Wali Kota 2020.
Hal ini diungkapkan Wakil Ketua DPRD Tikep Mochtar Djumati, Jumat (2/10). Mochtar menyatakan, pihaknya telah mengantongi sejumlah laporan soal pendataan pelaku usaha di beberapa kelurahan.
“Kita sudah kantongi laporannya, dan orangnya sudah kami kantongi, jika suatu saat diminta untuk menyampaikan. Karena ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang lakukan pendataan di setiap kelurahan-kelurahan tertentu, dan bukti sudah kami kantongi,” ungkapnya.
Ketua Partai Nasdem Tikep ini menegaskan, DPRD akan memanggil Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi untuk membahas sekaligus mempertanyakan pendataan yang dilakukan ke masyarakat terkait calon penerima bantuan pemulihan ekonomi dari DID tersebut.
“Rencana kami akan mengundang Kadis Perindagkop agar masalah ini tidak liar. Karena laporan-laporan yang kita dapat ini mudah-mudahan tidak benar agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat,” tukasnya.
Mochtar menjelaskan, anggaran senilai Rp 12,5 miliar itu, Rp 8 miliar lebih akan diperuntukkan sebagai anggaran pemulihan ekonomi, sementara sisanya untuk penanganan Covid-19.
“Untuk itu, kami berharap agar bantuan ini diberikan sesuai dengan hak dari masyarakat itu sendiri. Kami juga berharap agar Bawaslu turut mengawasi proses pendataan masyarakat yang akan mendapatkan dana untuk bantuan pemulihan ekonomi,” pungkasnya.
Terpisah, Pj Sekretaris Kota Tikep M. Miftah Baay saat dikonfirmasi soal sorotan DPRD itu meminta agar petugas di lapangan tidak mempolitisir bantuan.
“Saya berharap ini jangan dipolitisir, sehingga terkesan ini atau seolah-olah kandidat tertentu yang kasih. Karena bantuan ini perintah secara nasional, untuk pemulihan ekonomi,” jelasnya.
Sementara Kadisperindagkop Tikep Syaiful Bahri Latif yang dikonfirmasi terpisah enggan memberikan komentar.
“Tetapi kalau DPRD memanggil saya untuk meminta klarifikasi, saya akan berikan klarifikasi kelurahan mana saja seperti yang disebutkan DPRD,” terangnya.
Syaiful bilang, sejauh ini dinas bekerjasama dengan pemerintah kelurahan dan desa untuk memberikan data. Menurutnya, pemberian anggaran pemulihan ekonomi itu khusus masyarakat atau UMKM yang tidak dapat bantuan pemulihan ekonomi dari pusat sebesar Rp 2,4 juta. Namun untuk anggaran pemulihan ekonomi yang bersumber dari DID akan diatur dalam Perwali sekaligus dengan petunjuk teknisnya.
“Yang bersumber dari DID ini nilainya sama dengan yang didapatkan dari pusat yakni Rp 2,4 juta bagi satu pelaku usaha, sementara proses penyalurannya menunggu pencairan dari Keuangan karena sudah diajukan permintaan,” katanya.
Di sisi lain, Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran (HPP) Bawaslu Tikep Amru Arfa saat dikonfirmasi terkait pengawasan Bawaslu dalam pendataan masyarakat penerima bantuan pemulihan ekonomi menyatakan sudah memerintahkan jajarannya untuk terus mengawasi. Dia juga mengaku sudah mendapat informasi dan riak-riak terkait dugaan politisasi dana bantuan tersebut.
“Jadi tidak bisa menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik, apalagi soal bantuan itu. Itu kan uang negara, bukan uang pribadi. Tentu riak-riak ini sudah kami dapatkan, makanya sementara diperintahkan ke jajaran agar terus awasi,” aku Amru.
Amru menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 ayat (3) menjelaskan, kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
“Sedangkan Pasal 5 menyebutkan, dalam hal kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon baik KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota. Jadi kalau memang di lapangan nanti ada kedapatan, tentu bisa didiskualifikasi,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan