Tandaseru — Warga Desa Timlonga, Kecamatan Bacan Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara adalah segelintir komunitas yang masih memelihara tradisi warisan leluhur. Adalah bahalo sagu, tradisi yang kental nilai sosialnya ini tetap terjaga di desa pesisir tersebut.

Bahalo sagu adalah kegiatan mengolah batang pohon sagu menjadi tepung sagu, salah satu makanan pokok warga Indonesia Timur. Di Timlonga, bahalo sagu kerap dilakukan secara gotong royong ketika ada hajatan di kampung, seperti perkawinan, selamatan haji, dan orang meninggal.

Di desa-desa lain, bahalo sagu juga dilakukan, namun seringnya untuk dijual tepung sagunya alias sebagai mata pencaharian.

Sekretaris Desa Timlonga, Bahri Hamid mengatakan, tradisi bahalo sagu merupakan tradisi turun-temurun. Ketika ada hajatan, seluruh warga Desa Timlonga, khususnya laki-laki, wajib bersama-sama menuju lokasi pohon sagu di belakang kampung untuk bahalo sagu.

Jarak lokasi pohon sagu dari kampung bervariasi. Ada yang dekat, ada pula yang mencapai 1 kilometer.

“Di lokasi pohon sagu, kami mulai dari menebang pohon sagu, kemudian membersihkan batang dan memeras air sagu. Semuanya dilakukan oleh laki-laki,” tutur Bahri kepada tandaseru.com, Sabtu (8/8).

Jika empunya hajatan punya pohon sagu sendiri, warga akan bahalo sagu milik pemilik hajatan. Namun jika orang tersebut tak punya pohon sagu, warga lain akan merelakan pohon sagu miliknya untuk digarap.

Seorang pria Desa Timlonga memangkur sagu atau bahalo sagu untuk hajatan di desa. (Istimewa)

“Sekali bahalo cukup satu pohon sagu ukuran dewasa yang kami kerjakan. Itu tidak sampai sehari sudah selesai,” terang Bahri.

Bahri bilang, tradisi tersebut telah dipertahankan sejak zaman mahimo (tetua desa, red) hingga berlanjut ke pemerintahan desa modern seperti sekarang ini.

Uniknya lagi, warga Timlonga tetap setia menggunakan peralatan manual untuk memangkur sagu. Yakni pangkur yang terbuat dari sebilah bambu yang dibentuk mirip cangkul.

Setelah sagu selesai dipangkur, warga gotong royong memeras tepung sagu. Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari proses bahalo sagu. (Istimewa)

Pemerintah desa pernah mengadakan mesin parut modern untuk kegiatan itu, namun warga lebih memilih bertahan dengan alat manual.

“Dan manfaat menggunakan alat manual ini adalah semua pekerja mendapat kesempatan bekerja. Jadi semuanya kebagian bahalo sagu. Makanya kami masih andalkan alat manual seperti yang digunakan tetua,” papar Bahri.

Selain meringankan beban orang yang memiliki hajatan, bahalo sagu terbukti jadi tradisi yang menguatkan ikatan persaudaraan warga desa yang terdiri atas Suku Makean, Bajo dan Tobelo ini.