Tandaseru — Persoalan lahan pekuburan Tionghoa di Kota Ternate kian pelik. Yayasan Cahaya Bhakti (YCB) Maluku Utara selaku pemilik lahan tetap bersikeras agar ratusan warga yang menempati areal pekuburan tersebut segera angkat kaki.
Ketua YCB, Hartono Litan menegaskan, sudah tiga tahun lamanya Yayasan terus menyurat meminta warga untuk angkat kaki. Pasalnya, warga menempati areal yang diperuntukkan bagi pekuburan tersebut secara ilegal.
“Waktu yang kami berikan 30 hari untuk segera keluar dari lokasi tersebut, karena waktu yang kami berikan sudah 3 tahun sejak 2018 hingga 2020. Jadi 30 hari itu terhitung sejak surat yang kami layangkan pada 6 Juli 2020,” tegasnya saat diwawancarai usai melakukan hearing dengan DPRD Kota Ternate, Jumat (10/7).
Hartono bilang, awalnya lahan milik YCB memiliki luas 17 hektare. Namun sebagian besar dihibahkan ke tiga kelurahan yakni Santiong, Kalumpang dan Salahudin di Kecamatan Ternate Tengah.
Saat ini, sisa lahan YCB di wilayah tersebut adalah 7 hektare. Bukti kepemilikan lahan itu berupa sertifikat pada zaman Belanda tahun 1917.
“Jadi sekarang torang hanya butuh torang pe rumah masa depan. Ngoni juga mati pasti maso rumah masa depan, dan kita juga mati maso rumah masa depan 1×2. Jadi tong ingin biking pagar kong tinggal di situ. Jadi samua akan mati, ngoni di kubur Islam, kita di kubur Cina, dan ada juga di kubur Kristen,” ujar Hartono.
Dia bilang, rencananya pekan depan Badan Pertanahan Negara (BPN) akan turun langsung ke lokasi untuk memantau batas-batas lahan seluas 7 hektare.
“Torang punya 17 hektare berdasarkan sertifikat zaman Belanda, dan sekarang sudah keluar sertifikat surat ukur dan sisa 7 hektare karena yang lain sudah dihibahkan ke kelurahan Kalumpang, Santiong, dan Salahudin. Nah itu depe sisa yang torang mo minta,” ucapnya.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Ternate, Achmad Ady Shufi yang dikonfirmasi terpisah menyebutkan lahan pekuburan Cina itu belum memiliki sertifikat kepemilikan tanah era modern. Menurut Ady, Lokasi tersebut sudah pernah diukur dan sudah ada gambar situasinya tapi sertifikatnya belum keluar. Sementara gambar situasinya tersebut diukur pada tahun 1994.
“Pengukuran itu sendiri tidak ada waktu penetapan berapa lama sertifikat harus diterbitkan. Berdasarkan aturan tidak ada masa berlaku surat ukur, karena tidak disebutkan dalam aturan. Sejauh ini belum ada sertifikatnya tanah tersebut,” terangnya.
Namun Ady bilang, sertifikat Belanda yang dipegang pihak YCB bisa dikonversi menjadi sertifikat tanah. Ady mengaku sudah pernah melihat sekilas sertifikat tersebut.
“Untuk asal usulnya saya belum bisa bicara banyak, nanti mereka datang ke kantor tunjukkan surat-suratnya baru bisa saya bicara soal itu,” paparnya.
Menurutnya, sertifikat Belanda bisa dijadikan sebagai dasar kepemilikan sah atas tanah. Berdasarkan aturan, semua hak-hak barat seperti sertifikat Belanda itu setelah berlakunya Undang-Undang PA tahun 1960 harus dikonversi menjadi sertifikat tanah.
“Sertifikat Belanda itu kan yang disebut dengan eigendom. Sebenarnya itu bukan sertifikat, itu tanda bukti pajak,” tukasnya.
Untuk pengukuran tanah kembali, imbuh Ady, nanti dari pihak Yayasan yang datang ke Kantor Pertanahan meminta untuk diukur lagi. Setelah itu baru dilihat kelengkapan berkas seperti apa untuk ditindaklanjuti.
“Kita dari BPN sifatnya melindungi yang berhak atas tanah tersebut. Artinya siapa yang menunjukkan bukti terhadap tanah tersebut, maka negara wajib melindungi,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan