Tandaseru — 367 jiwa yang mendiami Lingkungan Pekuburan Cina Ternate terancam digusur paksa. Ketiadaan sertifikat tanah membuat warga berada dalam posisi yang lemah untuk bertahan.
Dalam surat terbaru Yayasan Cahaya Bhakti Maluku Utara bernomor 013/ycb-06/2020 warga diminta segera meninggalkan lokasi pekuburan milik warga Tionghoa yang mereka tempati. Surat tersebut ditandatangani Ketua Yayasan, Hartono Litan.
Dalam surat penyampaian pada 6 Juli 2020 tersebut, Hartono meminta areal Kubur Cina ditata dengan baik dan ada beberapa poin yang dicantumkan, antara lain dilarang berjualan, dilarang mendirikan rumah, dilarang memelihara hewan ternak, dilarang menjadikan tempat parkir, dan sarana olahraga. Sedangkan pantauan tandaseru.com, areal tersebut dipenuhi rumah warga yang semi permanen hingga permanen.
Salah satu penjaga Pekuburan Tionghoa, Malik Yamko yang diwawancarai mengatakan, surat dari Yayasan yang meminta warga angkat kaki sudah ketiga kalinya. Sejak tahun 2018, kata Malik, pihak Yayasan sudah melayangkan surat pemberitahuan bagi warga yang mendidikan bangunan di areal pekuburan, namun tidak diindahkan sama sekali.
Menurut Malik, bangunan liar yang berdiri di areal Pekuburan Tionghoa kebanyakan didirikan warga dari luar Ternate. Mereka mulai membangun pascakonflik komunal yang melanda Maluku Utara 1999 silam.
“Saya kan sering keluar kota. Jadi mereka itu suka ambil kesempatan pas saya keluar kota. Begitu saya balik tahu-tahu sudah ada bangunan,” ungkapnya kepada tandaseru.com, Kamis (9/7).
“Sudah ulang-ulang kasih tahu tapi mereka diam saja. Sedangkan saya kan cuma diberi kepercayaan oleh pihak Yayasan. Jadi saya hanya jalankan apa yang diperintahkan Yayasan saja,” kata Malik.
Menurut Malik, luas tanah Yayasan sekitar 17 hektare yang kemudian dihibahkan ke Kelurahan Santiong, Kalumpang dan Salahudin. Lantas yang dijadikan Pekuburan Tionghoa sekitar 7 hektare.
“Inilah yang akan diminta pihak Yayasan untuk segera dibersihkan. Dulu tanah ini 17 hektare terus dihibahkan ke Santiong, Salahudin dan Kalumpang dan akhirnya sisa 7 hektare dijadikan wilayah kubur Cina dari Santiong sini sampai batas kubur Islam,” jelas Malik.
Lurah Santiong, Irsan Ibrahim Akil saat ditemui membenarkan adanya surat penyampaian dari Yayasan untuk Kelurahan Santiong. Dia bilang, surat tersebut sudah dilayangkan ketiga kalinya sejak 2018.
“Sudah tiga tahun surat dari Yayasan dikasih terus di Kelurahan, dan kami pihak Kelurahan hanya memediasi antara warga yang ada di areal kubur Cina dan pihak Yayasan,” ungkap Irsan.
Menurutnya, bangunan yang ada di areal kubur Cina tidak mengantongi izin dari Pemerintah Kelurahan maupun Yayasan Cahaya Bhakti selaku pemilik lahan sah. Dia menegaskan, bangunan yang dibangun di areal tersebut adalah bangunan liar meski sebagian sudah bersifat permanen.
“Ya warga yang ada di area kubur Cina harusnya sadarlah. Ini kan lahan milik Yayasan. Mereka sudah hibahkan banyak ke Santiong. Terus sekarang kita bangun rumah di area kubur sedangkan pemiliknya mau pakai, mau bersihkan, warganya malah tidak mau,” ucap Irsan seraya mengaku heran dengan sikap warga yang ngotot tak mau pindah.
Irsan berujar, tiga tahun bukan waktu yang singkat bagi Yayasan untuk meminta warga pindah dari kubur Cina.
“Harusnya dalam waktu tiga tahun itu warga usaha dan memikirkan mau pindah kemana, karena tanah ini milik Yayasan, bukan milik pemerintah,” ujarnya.
Lurah Kalumpang, Mokhtar Umasangadji ketika dikonfirmasi mengaku Kelurahan Kalumpang juga termasuk dalam rencana pembersihan lahan oleh Yayasan. Ada sekitar 6 rumah warga yang masuk di areal kubur Cina.
“Kami terima surat dari Yayasan dan sekarang sudah mulai dibersihkan. Pohon-pohon sudah dipotong, sampah-sampah sudah dibersihkan, dan kami hanya menunggu pihak Yayasan turun mengecek karena di Kelurahan Kalumpang ada sekitar 6 rumah yang masuk areal kubur Cina,” ungkapnya.
Moktar berharap pihak yayasan bisa turun langsung bertemu dengan warga Kalumpang yang rumahnya masuk pada areal kubur Cina. Dari 6 rumah tersebut ada beberapa yang sudah memiliki sertifikat rumah, sehingga dia berharap pihak Yayasan dan warga bisa duduk bersama merundingkan masalah tersebut agar tidak ada salah paham ke depannya.
“Warga ini kan dulu-dulu Yayasan masih dipegang oleh Sidodadi, dorang (mereka, red) baku lafaz (membuat janji secara lisan, red) dengan pemilik rumah tersebut (soal pemakaian lahan). Tapi warga tidak punya bukti catatan secara hukum jadi disitulah kalahnya warga yang ada di areal kubur Cina itu. Karena dulu-dulu dorang pe orangtua cuma baku kasih tanpa bukti tertulis. Nah sekarang sudah berganti turun-temurun dan akhirnya warga harus berhadapan dengan pihak Yayasan untuk cari solusi. Kami Kelurahan hanya memediasi saja,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan