Sekilas Info

Dinamika Pilkada di Tengah Covid-19

Sumarlin Maate

Oleh: Sumarlin Maate
Pemerhati Demokrasi

PILKADA merupakan suatu agenda demokrasi yang setiap lima tahun dilaksanakan, di Indonesia kemudian ditemukan suatu istilah pilkada serentak.

Pilkada serentak menjadi suatu momentum demokrasi di daerah-daerah yang sedang melaksanakan agenda tersebut, dalam prosesnya melibatkan partai politik sebagai peserta, rakyat sebagai pemegang mandat, serta pasar sebagai bagian sangat berpengaruh terhadap proses pilkada.

Beberapa daerah di Indonesia kemudian mengalami kendala dalam melaksanakan agenda pilkada serentak dikarenakan wabah pandemik Covid-19. Kondisi tersebut dapat dilihat lewat diberlakukannya PERPPU 2/2020 tentang penundaan pilkada serentak.

Berbagai kendala sosial dan ekonomi sangat berpengaruh terhadap Pilkada serentak. Jauh sebelum negara menghadapi Covid-19, agenda Pilkada sering diperhadapkan dengan kendala politik uang.

Kondisi tersebut dapat dilihat keseriusan berbagai pihak di negara ini dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, didalamnya mengatur tentang kewenangan lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu.

Lembaga tersebut memiliki kewenangan mahkota dalam hal mengawasi pemilu yaitu penyelesaian sengketa administrasi pemilu.
Berkembangnya isu politik uang merupakan bagian tidak terlepas pisah dari agenda demokrasi sehingga terkadang Pemilukada justru melahirkan dinasti lokal.

Dinasti lokal tersebut dilakukan melalui relasi dinasti keluarga pasca Pilkada, dalam keadaan demikian budaya korupsi akan semakin menjadi problem mendasar dan akan menghambat kemajuan negara dikarenakan Pemilu tidak melahirkan perubahan signifikan sementara anggaran yang digunakan dalam Pemilu menjadi rahasia umum sangat signifikan.

Dalam keadaan normal, setiap momentum Pilkada masyarakat diperhadapkan dengan politik uang. Tidak heran, setiap kontestan dan partai yang memiliki cukup kekuatan anggaran sangat mungkin memenangkan Pemilukada disetiap daerah. Dapat dilihat setiap incumbent dengan kekuatan anggaran dan infrastruktur birokrasi daerah sering dijadikan kekuatan untuk menopang incumbent dalam Pemilukada.

Dalam keadaan normal pun pragmatisme pemilih dengan pola politik uang sudah menjadi semacam kebiasaan yang telah berurat akar dalam kehidupan politik berbangsa sehingga menghadapi Pemilu di Desember 2020 tentu akan sangat memiliki efek yang akan mempengaruhi Pemilu, bahkan eksistensi lembaga penyelenggara serta aparatur birokrasi dikarenakan Pemilukada kali ini dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Yang mana secara ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Apalagi saat negara sedang dalam keadaan genting diakibatkan pandemi Covid-19 dan ditandai dengan maraknya aksi bantuan sembako disalurkan dengan menggunakan atribut legislatif maupun eksekutif kondisi ini akan semakin berdampak pada agenda Pemilu, dimana Pemilu yang jurdil dan adil hanya akan menjadi wacana semata. Serta pasca pandemi bagi negara-negara dengan SDM dan ekonomi mapan akan terus melahirkan demokrasi, demokrasi yang akan mengarah pada aspek equality before the law.

Harapan ini sangat sulit diharapkan bagi negara Indonesia sebab dominasi wacana elite dan publik hanya menyangkut bantuan sembako dan anggaran untuk dapat memberi bantuan kepada warganya, sehingga perdebatan tentang sains di bidang farmasi untuk dapat keluar dari nuansa kegentingan negara atas bencana sebagaimana diatur dalam UU 24/2007 tentang kegentingan justru akan melahirkan watak oligarki sipil melalui partai politik.

Dengan demikian, politik uang akan semakin masif dan eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu patut kiranya diawasi secara partisipatif oleh warga negara. Demikian halnya lembaga-lembaga civil society harus terus membangun kesadaran publik atas bahaya pandemi global baik dalam keadaan menghadapi maupun pasca Covid-19.

Di Balik Pandemi Covid-19

Sebagian pendapat memberikan ilustrasi bahwa wabah virus yang melanda dunia merupakan agenda kaum plutokrasi dalam menguasai dunia lewat New World order (Jerry D. Gray).

Dalam peristiwa yang melanda dunia di satu sisi mengancam sistem ekonomi dan politik bagi negara, sementara berdampak positif bagi mereka yang menjadi bagian penting dari terjadinya pandemi global yaitu dunia farmasi sebab dengan demikian manusia dapat dikelola melalui aspek ketergantungan terhadap farmasi dan akan mengancam ekonomi negara terdampak. Negara-negara berkembang bahkan negara dengan kategori maju pun turut terdampak pandemi tersebut.

Untuk itu setiap peristiwa dunia baik dalam bentuk pandemik maupun bencana alam merupakan suatu kejadian yang sangat menguntungkan kelompok-kelompok pemodal dunia dan ini memiliki relasi dengan elite di negra-negara berkembang dalam bentuk kerja sama ekonomi antara negara.

Kerja sama ekonomi seperti ini tidak lepas dari terbentuknya aliansi borjuasi internasional dan nasional, birokrasi dan intelektual, militer dan birokrasi, dan borjuasi lokal dan nasional. Kelompok ini sering diistilahkan dengan trans global dan nasional (Dawam Ranuwiharjo dan Jhon Harriss dkk). Tentu posisi mereka sangat strategis di era derasnya perputaran barang, uang, dan informasi di era cyber.

Terlepas dari pandemi menjadi agenda kelompok penganut New World Order, masyarakat diarahkan untuk tetap beraktivitas di rumah dengan tujuan mengurangi penyebaran virus corona dan seluruh aktivitas dilakukan melalui sistem cyber sementara sistem cyber ini telah mejadi program yang telah lama dirancang di Britania Raya dengan tujuan melahirkan sentralisme kartu identitas berupa E-KTP sehingga dalam situasi tertentu pemerintah sangat gampang mengidentifikasi aktivitas warga negaranya.

Bukankah ini sangat bertentangan dengan agenda kemerdekaan individu (Jhon Coleman)? Dalam dunia cyber terdapat tiga unsur signifikan sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat yaitu perputaran barang, uang, dan informasi.

Sentralisme identitas dan tiga hal yang berputar dalam kehidupan cyber seperti ini manakala berkaitan dengan kondisi Pemilukada. Situasi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi Indonesia ditambah dengan rentang kendali secara geografis maka akan sangat mahal biaya konsolidasi demokrasi. Belum lagi sentralisme partai politik dan kondisi ekonomi di tengah pandemi serta berbagai kepentingan didalamnya tentu akan sangat memberikan dampak signifikan terhadap Pemilukada serentak yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat di beberapa daerah pada umumnya dan khususnya di Maluku utara.

Sementara dalam setiap momentum Pemilukada serentak di Malut sering saja isu-isu sektarian dijadikan isu politik setiap kontestan hingga sangat membelah pemilih. Dengan demikian konsolidasi demokrasi akan sangat bergantung pada penggunaan modal yang cukup signifikan.

Jika isu pandemi dan situasi politik lokal terus berkembang dengan isu sentimen SARA serta pola politik uang terus menjadi instrumen dalam momentum Pilkada serentak maka momentum demokrasi akan sangat memberikan ruang bagi kaum oligarki partai untuk bisa memenangkan kontestasi tersebut. Sebab Covid-19 salah satu aspek yang sangat signifikan terdampak adalah ekonomi, ditambah dengan pragmatisme pemlih dikarenakan pola konsolidasi demokrasi baik itu dilakukan di kalangan partai politik atau elemen yang terlibat dalam setiap momentum Pilkada terus menggunakan sentimen SARA maka konsolidasi demokrasi akan sangat mahal, dan jika demikian sudah tentu Pemilukada akan terus melahirkan dinasti lokal dan melanggengkan elite yang memiliki relasi modal dan pasar baik global maupun nasional. Untuk itu agar bisa terhindar dari situasi seperti apa yang digambarkan maka sangat diharapkan adanya kesadaran kelompok menengah untuk dapat memberikan penyeimbang atas dominasi oligarki partai politik terhadap kedaulatan rakyat agar isu SARA tidak terus dimainkan mejadi komoditas politik lokal.

Semakin marak isu SARA didengungkan semakin membelah ruang sosial. Terbelahnya ruang sosial secara signifikan ditambah dengan dampak Covid-19 serta kesiapan warga negara menghadapi sentralisme identitas dengan situasi perputaran barang, uang, dan informasi begitu cepat tentu akan memberikan angin segar bagi kontestan dengan kemampuan anggaran yang cukup serta dukungan partai-partai yang secara modal terbilang mapan serta memiliki relasi dengan korporat internasional yang sering bergerak pada aspek pengelolaan SDA, demokrasi akan mati dan kedaulatan rakyat hanya akan menjadi slogan untuk melanggengkan dinasti lokal.

Maraknya isu-isu SARA merupakan bagian yang mengabaikan substansi dari demokrasi, didalamnya terdapat kekuatan perputaran barang, uang, dan informasi sehingga sebagian warga negara terpolarisasi dalam semangat nasionalisme sempit dalam menghadapi setiap agenda Pemilukada.

Dengan demikian harapan akan suatu kemajuan dari aspek ekonomi sesuai dengan semangat otonomi daerah hanya akan terus memupuk sentimen lokal terhadap pusat dan daerah serta terus melanggengkan dinasti modal.

Jalan Keluar

Demokrasi merupakan bagian yang telah dipercaya oleh sebagian besar negara-negara dunia untuk melahirkan tatanan pemerintahan dimana rakyat berpartisipasi didalamnya, pemerintah atau negara menjadi mediator antara warga negara dan pasar. Namun itu akan terlaksana manakala civil society berperan aktif dalam memberikan edukasi terhadap warga negara utamanya pada aspek sumber pendanaan kampanye partai politik, dimana sumber pendanaan tersebut minimal dapat diketahui publik berasal dari suatu korporat yang pro terhadap HAM, ekologi, maupun kesetaraan. Sebagaimana hal tersebut juga dilakukan di Eropa. Jika memang sumber pendanaan kampanye kandidat dan partai bersumber dari korporat yang tidak pro terhadap tiga isu mendasar dalam kehidupan bernegara, maka sudah semestinya dilakukan kampanye hitam untuk tidak memilih kandidat maupun partai tersebut.

Demikian juga lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, harus memiliki kemampuan strategis dalam menghadapi dinamika politik uang sebab terlepas dari fungsi konstitusional sebagai lembaga penyelenggara pemilu lembaga tersebut juga memiliki fungsi etis dalam hal mengawal agenda demokrasi. Lembaga penyelenggara mesti mengutamakan fungsi-fungsi etis dalam hal mengawasi praktek politik uang, dengan kewenangan yang diamanatkan dalam UU 7/2017 maka lembaga penyelenggara merupakan gawang terakhir dalam mempertahankan eksistensi negara dalam menjadi mediator antara pasar dan rakyat. Dengan demikian negara akan terus berada pada posisi sebagai pelindung rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.

Dilema dalam menghadapi pasar dan isu politik uang sebagai bagian dari problem tentang demokrasi dan Pilkada serentak akan sangat mungkin dilakukan manakala warga kemudian tidak disuguhkan secara politik dengan isu-isu populisme SARA. Agar warga mampu mencerna dengan baik perkembangan Pemilukada, sebab terlepas dari berbagai ancaman atas kegentingan yang dialami negara akibat Covid-19 secara natural juga memberikan seleksi secara alami atas watak pemilih dan para kontestan dalam Pemilukada demikian halnya partai politik. Namun jika terus memompa vital SARA maka isu keadilan dan kesetaraan hanya akan terus menjadi cara untuk meraih kepercayaan publik di setiap momentum politik, sehingga para kontestan dengan kekuatan finansial dan relasi pasar yang tidak prokeadilan akan terus terpilih sebagai kepala daerah, padahal secara alami warga negara sudah dapat memiliki kesadaran akan pentingnya negara saat menghadapi kondisi kegentingan agar warga mampu keluar dari apa yang menjadi ancaman atas keselamatan hidup warga negara.(*)