Tandaseru – Sejumlah desa di Provinsi Maluku Utara mulai diwarnai unjuk rasa warga beberapa hari belakangan. Warga desa lain yang belum berunjuk rasa ikut menyuarakan protesnya atas pengelolaan Dana Desa (DD) untuk penanganan dampak Covid-19.

Di Halmahera Selatan, setidaknya sudah ada tiga desa yang melakukan unjuk rasa terkait pengelolaan DD, yakni Desa Loleojaya Kecamatan Kasiruta Timur, serta Desa Dolik dan Moloku Kecamatan Gane Barat Utara.

Di Halmahera Barat, Pemerintah Desa Toniku Kecamatan Jailolo Selatan diprotes Badan Permusyawaratan Desa (BPD) gara-gara pengelolaan DD. Sedangkan warga Desa Biamaahi, Jailolo Selatan, sampai memalang kantor desa lantaran meminta transparansi pengelolaan DD.

Sosiolog Malut Dr. Herman Oesman menilai, munculnya sejumlah masalah pengelolaan DD dapat dilihat dari tiga sisi. Sisi pertama, lebih merujuk pada belum adanya pemetaan yang jelas akan masalah dan kebutuhan desa.

Dr. Herman Oesman

“Terlebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan warga masyarakat akibat wabah pandemi Covid-19, dimana DD menjadi penyangga bagi kebutuhan warga yang terdampak. Tatkala pemetaan masalah dan kebutuhan desa belum terpetakan, hadir wabah. Tentu akan berakibat pada soal pengelolaan yang tentu belum selaras dengan skala prioritas penggunaan dana tersebut,” ungkap Herman kepada tandaseru.com, Rabu (27/5).

Sisi kedua, berhubungan dengan pengawasan yang belum maksimal. Herman bilang, ini lebih bersinggungan dengan aspek perencanaan yang berimplikasi pada pengawasan.

Sisi ketiga terletak pada mentalitas individu yang dari aspek pembinaan belum maksimal dilakukan. Indikasinya, kata Herman, unjuk rasa yang dilakukan warga dapat dibaca dalam konteks ini.

“Saya kira ini memerlukan penguatan sinergitas dan sinkronisasi, terlebih warga desa yang terdampak wabah pandemi Covid-19. Hadirnya rasa ketidakpuasan warga, boleh jadi juga adanya pengelolaan yang tidak berimbang,” ujarnya.

Sementara Pengamat Kebijakan Publik Dr. Mukhtar Adam menilai fenomena ini disebabkan pengelolaan DD dalam kondisi kedaruratan yang dipaksakan. Implementasi pengelolaan yang dipaksakan ini berdampak memunculkan masalah baru.

Dr. Mukhtar Adam

“Sejak awal saya sudah menduga bukan hanya di desa melalui APBDes, termasuk APBD dan APBN. Karena bangsa ini belum memiliki standar penanganan bencana non alam yang serentak terjadi di Indonesia,” ungkap Mukhtar.

Mukhtar bilang, kepanikan seperti ini dimulai dari Pemerintah Pusat yang memproduksi “kebijakan panik”, yakni kebijakan dengan standar yang tidak mempertimbangkan risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari.

“Banyak persepsi yang keliru seolah-olah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadi garansi bagi kebijakan dan implementasi yang tidak dapat ditindak pidana dan perdata. Maka seolah-olah ada bypass yang bisa dilakukan. Akibatnya potensi kecurangan (fraud) terjadi dimana-mana pada berbagai level pemerintahan, baik desa sampai negara,” jabarnya.

Fenomena protes yang muncul dari desa, sambung Mukhtar, lantaran di desa pemerintah langsung berhadapan dengan masyarakat. Kebijakan apapun bisa secara cepat direspons oleh publik desa.

“Sehingga fenomena ini akan mewarnai pemberitaan di tahun 2020. Sedangkan 2021 selanjutnya akan muncul berbagai masalah di (tingkat) kabupaten/kota, provinsi dan negara. Maka bencana Covid-19 berpotensi memunculkan bencana korupsi yang akan terjadi di tahun 2021 sampai dengan akhir masa pemerintahan Jokowi,” terang Dosen Ekonomi Universitas Khairun ini.

Menurut Mukhtar, selama ini negara membuat regulasi untuk menjadikan desa sebagai pelaksana kebijakan yang harus dituntun setiap waktu. Selain alasan kompetensi sumber daya manusia, alasan lainnya agar kementerian dan daerah bisa membuat bimbingan teknis yang menyerap anggaran besar bagi kementerian dan daerah.

“Ketika masuk bencana Covid-19, kementerian dan daerah sulit melakukan cara-cara tersebut yang berdampak pada tata kelola di desa,” bebernya.

Pandangan Herman dan Mukhtar ini dikuatkan oleh Wakil Ketua DPD KNPI Malut, Hendra Kasim. Advokat muda ini menyatakan, unjuk rasa di berbagai desa terkait pengelolaan DD merupakan momentum yang tepat untuk mengkritisi Undang-Undang Desa.

Hendra Kasim

“Di awal-awal disahkannya Undang-Undang Desa saya mengkritisi semangat undang-undang ini yang tidak sebanding dengan sumber daya manusia desa. Karena Undang-Undang Desa memberikan legitimasi kucuran Dana Desa yang cukup besar dengan niat percepatan pembangunan di desa, namun kasus di Maluku Utara Dana Desa menjadi sumber petaka bagi desa,” papar Hendra.

Dia mencontohkan, perebutan jabatan kepala desa begitu sengit karena motifnya bukan lagi pengabdian melainkan DD. Akhirnya, penyelewengan DD jadi tontonan yang nyata di desa-desa dimana banyak kepala desa dan stafnya terseret ke ranah hukum.

“SDM desa terbatas, sementara itu dana yang begitu besar tidak bisa dikelola dengan baik. Kepala desa menganggap Dana Desa sebagai milik pribadi, padahal Dana Desa berasal dari rakyat. Sebab itu falsafah BLT harus diubah. Itu bukan uang desa, tapi uang rakyat yang diserahkan kembali kepada rakyat,” tegas Hendra.

Hendra memandang, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Desa yang kerap diprotes disebabkan adanya ketidaktransparansi dan ketidaksesuaian dengan ketentuan yang berlaku.

“Ini karena kepala desa tidak memiliki legal culture yang mumpuni serta minim sense of crisis,” jelasnya.

Maraknya unjuk rasa dan protes ini diprediksi Hendra bakal menjadi pertanda para Pemerintah Desa akan berurusan dengan hukum di kemudian hari.

“Bahkan tidak perlu menunggu pandemi ini tertangani, kami pikir penegak hukum dalam waktu dekat ini sudah sepatutnya melalukan penyelidikan atas peristiwa hukum tersebut,” pintanya.

Demi menghindari fenomena protes ini menjalar ke desa-desa lain, Hendra bilang ada dua hal yang dapat dilakukan, yakni langkah preventif dan represif.

“Langkah preventif, pemerintah daerah dapat menegur dan mengimbau langsung desa lain untuk melalukan pembagian BLT sesuai dengan norma yang berlaku. Langkah represifnya, penegak hukum harus segera proses hukum pemerintah desa yang diduga melakukan penyelewengan BLT. Dengan proses hukum yang baik, diharapkan dapat memberikan pelajaran serta deterrent effect atau efek jera bagi pemerintah desa yang lain,” tandasnya.