Tandaseru — DPR RI, Kementerian Hukum, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan DPD RI membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pembahasan berlangsung di ruang Badan Legislasi DPR, 11-17 Februari 2025.
Rapat yang berlarut ini akhirnya membuahkan hasil: DPR resmi mengesahkan RUU tersebut pada 18 Februari 2025.
RUU ini masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025, yaitu dalam Daftar Kumulatif Terbuka. Artinya, dapat diajukan berdasarkan kebutuhan. Untuk konteks RUU ini, kebutuhannya adalah akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga
mengharuskan adanya perbaikan/revisi dengan segera.

Pembahasan RUU Minerba adalah wujud komitmen negara termasuk DPD untuk aktif mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batu bara yang mengedepankan kesejahteraan rakyat dan ramah terhadap lingkungan. Semua pihak punya tanggung jawab moral untuk itu.
Pembahasan secara Tripartit
Secara konstitusional, pembahasan RUU dilakukan tripartit dengan melibatkan DPR RI, Pemerintah, dan DPD RI. Karena merupakan RUU usulan DPR, maka DPR menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), lalu setiap fraksi, Pemerintah dan DPD menyampaikan DIM tanggapan atas perubahan substansi atau perubahan redaksi dari DIM DPR tersebut.
DPD—melalui Komite II yang membidangi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya—turut memperjuangkan beberapa gagasan yang secara garis besar berkaitan dengan kepentingan daerah.
Perguruan Tinggi Menerima Manfaat
DPD sepakat dan mendorong bahwa Perguruan Tinggi perlu menerima manfaat dari aktivitas pertambangan, khususnya perguruan tinggi yang berada di kabupaten/provinsi lokasi eksplorasi.
“Manfaat dari perolehan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) prioritas perlu memerhatikan bahwa royalti atau manfaat yang diberikan kepada perguruan tinggi terbagi dalam 2 bentuk: dana abadi (untuk kepentingan jangka panjang perguruan tinggi dan dana untuk menjalankan Tri Darma perguruan tinggi,” jelas Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. yang merupakan anggota DPD RI dari Maluku Utara sekaligus
perwakilan Komite II dalam rapat tersebut.
Keberpihakan kepada Masyarakat Adat
Konflik lahan pertambangan kerap bersinggungan dengan masyarakat adat. Selama ini dan dalam konteks ini, peran masyarakat adat cenderung belum diperhatikan secara optimal.
“Keberadaan dan eksistensi sejumlah masyarakat adat terancam karena lingkungan hidup mereka masuk kawasan IUP. Contohnya seperti suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur. Lahan-lahan itu bertuan. Kita semua tentu mengharapkan konflik serupa tak terulang lagi,” ujar Senator Graal.
Senator Graal bersama Agustinus R Kambuaya, S.IP. (anggota DPD RI dari Papua
Barat Daya) menunjukkan data kuantitatif pun kasus banyaknya konflik lahan tambang dengan masyarakat adat di Indonesia, tak terkecuali di Maluku Utara, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah pertambangan lain.
“Perlu unsur kehati-hatian dalam pengelolaan wilayah pertambangan dan mempertimbangkan keberpihakan kepada masyarakat adat. Diperlukan pemetaan yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat adat untuk menentukan dan memperjelas tata lahan lokasi hutan adat, hutan lindung, lahan pertambangan, dan sebagainya,” tambah Senator Agus.
Dalam UU ini diakomodasi bahwa masyarakat adat berperan sebagai subjek yang dilibatkan dalam penerimaan manfaat dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Pelestarian Hutan Lindung dan Konservasi
DPD turut menggagas hutan lindung dan hutan konservasi harus bebas dari area pertambangan karena fungsinya yang begitu urgen untuk kehidupan mahkluk hidup.
“Dalam pengertian sederhana, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengendalian erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi ini begitu besar sehingga kawasan hutan lindung dan hutan konservasi perlu dilindungi, lestari, dan terbebas dari IUP. Tidak ada ruang atasnya untuk pertambangan,” jelas Senator Graal.
BUMD Bisa Kelola Tambang
Yang juga menjadi semangat DPD dalam proses pembahasan kemarin adalah perlunya pelibatan daerah dalam hal pengelolaan tambang, termasuk BUMD dan Pemerintah Daerah.
BUMD bisa mengelola tambang. Ini sebagai bentuk dari penegasan bahwa daerah tidak boleh diabaikan dan ditinggalkan dalam pengelolaan potensi pertambangan di daerahnya.
Kepentingan daerah harus diakomodasi dan frase BUMD pun masuk dalam norma RUU.
Terkait pelaksanaan reklamasi pascatambang, DPD meminta agar Pemerintah Daerah dilibatkan. Norma ini kemudian dimasukkan dalam pasal terkait pelaksanaan reklamasi pascatambang.
DPD sebagai Peninjau
Demi kepentingan daerah, DPD perlu turut serta meninjau jalannya aktivitas pertambangan. DPR, Pemerintah, dan DPD komitmen untuk melaksanakan tugas peninjauan dan pemantauan atas pelaksanaan undang-undang ini agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Penghargaan dan apresiasi DPD berikan kepada Baleg DPR selaku tuan rumah yang
telah mewadahi pembahasan panjang atas RUU ini dan mengakomodasi beberapa gagasan yang disampaikan DPD. Semoga UU ini dapat memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia, khususnya di sektor mineral dan batu bara.
Tinggalkan Balasan