Oleh: M. Jain Amrin
_______
DI atas langit Nusantara, merah putih terus berkibar dengan gagah. Namun, di bawahnya, masih banyak rakyat yang tertunduk karena kenyataan tak semegah perayaan. Indonesia mungkin telah merdeka secara hukum, tapi secara sosial, ekonomi, dan keadilan rakyat masih menjadi tawanan di tanah airnya sendiri.
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”
— Tan Malaka
Kutipan itu menggema kembali di tengah rakyat yang mulai kehilangan kepercayaan. Kepercayaan pada negeri yang katanya merdeka, tapi lupa membebaskan rakyatnya dari kemiskinan, ketimpangan, dan kebodohan.
Di pelosok-pelosok, anak-anak masih belajar di sekolah reyot, sementara di gedung parlemen, kebijakan pendidikan dirancang tanpa pernah menyentuh tanah.
Di ladang-ladang, petani ditindas harga dan tengkulak, sementara proyek-proyek besar disahkan atas nama pembangunan.
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”
Tapi idealisme itu kini nyaris pudar, dikikis oleh kenyataan: negara hadir, tapi tidak menyelamatkan.
Bagaimana mungkin negara ini disebut merdeka, jika tanah kami dijual, suara kami dibungkam, dan perut kami tetap lapar?
Tan Malaka pernah berkata,
“Terbentur, terbentur, terbentur… terbentuk.”
Kini, generasi muda Indonesia sedang dalam fase itu, terbentur realitas yang pahit, demi membentuk kesadaran baru.
Kemerdekaan sejati bukan hanya seremoni. Ia adalah keberanian untuk memastikan setiap warga mendapat hak hidup yang layak.
Selama masih ada anak bangsa yang tak mampu sekolah, petani yang kehilangan sawah, dan pekerja yang dibayar tidak manusiawi, maka kemerdekaan ini belum seutuhnya nyata.
Indonesia memang telah lepas dari penjajahan asing. Tapi, seperti kata Tan Malaka: “Kita telah merdeka! Tapi kemerdekaan belum berarti apa-apa jika rakyat masih lapar, bodoh, dan tertindas.” (*)
Tinggalkan Balasan