Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

DI sebuah sesi talk show ILC Karni Ilyas, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap bahwa dalam sistem yang baik, orang jahat dipaksa dan “terpaksa” harus menjadi baik. Dia mencontohkan budaya antri di Singapura. Sedangkan dalam sistem yang buruk, orang baik terpaksa ataupun dipaksa turut menjadi buruk. Dia mencontohkan ribetnya mengurusi dokumen diri yang sejatinya sangat sepele tetapi dibuat bertele-tele dan memakan waktu yang lama, sebelum “ditebus” dengan beberapa lembar uang sebagai bentuk sogok dan “pelicin”. Arti guyonnya, di dalam sistem yang buruk, “fungsi pelicin” itu bukan satu-satunya oli mesin, minyak kelapa, ataupun sejenisnya.

Ketika mencermati sedikit detail kiprah dan terobosan presiden Prabowo Subianto akhir-akhir ini, saya mengingat statement bang Yusril ini. Meski juga, ini ungkapan yang sudah agak umum di pahami.

Sulit bagi saya sekadar menemukan angle ketika memulai tulisan pendek ini, karena hampir setiap langkah dan kebijakan yang diambil dan terpantau sejauh ini, nyaris semuanya punya bobot strategis, mendasar dan terukur. Semua ini dilakukan, bisa atas nama visi, kinerja, perbaikan hingga ketulusan dan niat baik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menceritakan awal mula Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran belanja yang tidak prioritas mencapai Rp 306,69 triliun. “Sesudah presiden hadir di acara tutup tahun, beliau melihat dokumen anggaran yang sudah dan akan dilaksanakan tahun 2025 dari K/L, beliau melihat secara detail dan selama ini, presiden juga menyampaikan indikasi bahwa APBN perlu untuk dalam pelaksanaannya dilihat dari segi efisiensi dan ketepatan sasaran,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di kementerian keuangan, Jakarta, Jumat (24/1/2025). Bahkan terendus kabar, Probowo adalah satu-satunya presiden yang mengoreksi dan menyisir anggaran APBN hingga 9 tingkatan. Itu ukuran serius dan hati-hatinya. Bahwa keputusan pemangkasan ini merupakan keinginan pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas belanja baik di pusat maupun daerah. Seolah sebuah orkestra, kementerian dan lembaga berlomba-lomba mempublikasi nominal pemangkasan dan penghematan anggaran belanja masing-masing, detail dan lengkap. Ada 16 pos belanja di kementerian dan lembaga yang dipangkas, dengan persentase antara 10 hingga 90 persen. Ini adalah cara Presiden Prabowo meminimalisir korupsi, kebocoran anggaran dan proyek tipu-tipu, guna dimanfaatkan pada program utama dan menghindari hutang.

Karib saya di level pemerintahan daerah mengungkap kebijakan pemangkasan anggaran ini dan bikin pusing. Beberapa item belanja harus dipangkas dengan persentase dan jumlah yang bervariasi. Memang sudah saatnya begitu. Mentalitas boros dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan kita sudah terbilang akut juga, seolah uang negara dari pajak itu, tanpa pemilik dan semua berlomba menghabiskannya. Saatnya mengubah mindset dan orientasi berpemerintahan. Selama hasil dari pemangkasan itu digunakan untuk belanja prioritas, produktif dan investasi yang terencana dengan baik, tidak ada masalah. Pergeseran belanja dan berhemat bukan hal yang baru.

Tanggal 28 Januari lalu, tepat 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Partai Gerindra mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Indonesia atas dukungan, laporan, kritik dan segala masukan yang diberikan, dan berharap ini menjadi langkah lebih lanjut pemerintah untuk memberikan kinerja terbaiknya bagi Indonesia.

Di sebuah kesempatan, Presiden Prabowo pernah menegaskan kriteria anggaran, yang pertama adalah harus menciptakan lapangan kerja. Kedua, meningkatkan produktifitas yang bisa diukur dengan kuantifikasi berapa devisa yang dihasilkan dan dihemat. Kriteria selanjutnya harus mengarah swasembada pangan dan swasembada energi.

Apa hasilnya di 100 hari kerja itu, ini sampel “bersih-bersih kebocoran” anggaran itu: meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat aktif memantau pelaksanaan haji tahun 2025, akan menertibkan bos-bos kelapa sawit nakal, yang selama ini hanya mengeruk keuntungan dari hasil sawit dan melarikan harta mereka ke luar negeri, bukan untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa, akan mengevaluasi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tidak berguna, dan lain-lain, hingga memangkas anggaran belanja yang bukan prioritas sebesar Rp 306,69 triliun tadi.

Kenapa KPK diminta memantau pelaksanaan haji, sangat mungkin banyak kebocoran di sana. Kementerian yang mengelolanya pernah punya sejarah paling kelam, menterinya masuk penjara gara-gara korupsi belanja kitab suci agama. Soal kelapa sawit, alasannya tadi itu, perilaku bos-bos yang bikin negara merugi. Bagaimana dengan PSN, kita tahu semua efek buruk dan ancaman bagi ruang hidup, pencemaran wilayah laut, banjir, dan lain-lain, akibat pengelolaan yang tak terkendali, berakibat rusaknya ekosistim yang masif di sektor pertambangan, tanpa menafikan manfaat ekonominya.

Presiden juga memberi keputusan kepada unsur penegak hukum untuk menegakkan hukum dan aturan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar ketentuan-ketentuan pertanahan dan hutan. Seorang memberi informasi, aparat penegak hukum kita sampai ke tingkat terbawah, saat ini sedang “berlomba” mengais progres kinerja. Sangat mungkin banyak kasus-kasus hukum yang “sedang tiarap”, akan terungkap, diproses untuk memperoleh kepastian hukum, terkhusus yang nyata-nyata merugikan negara. Kita lihat nanti.

Di pemerintahan, mewarisi masa sebelumnya yang buruk itu, memang bikin pusing. Karena atas alasan itu pula, kita butuh pemimpin negara dan daerah yang punya visi teruji dan semangat patriotisme membuncah. Jika tak cukup visi untuk merencanakan hingga mewujudkan sebuah rencana kebijakan yang besar dan strategis, biarlah itu menjadi pekerjaan rumah bagi siklus pemimpin berikutnya, jangan mewarisi beban. Banyak kasus yang dihadapi saat ini, kasus pagar laut yang bikin heboh itu, misalnya, adalah contohnya.

Dalam pidatonya yang berapi-api, di rapat pimpinan (Rapim) TNI-Polri 2025 di Jakarta (30/1/2025), presiden Prabowo yang didamping kapolri dan panglima TNI itu, terlihat kental semangat patriotismenya. Katanya, ciri khas negara gagal karena tentara dan polisi yang gagal. Tentara dan polisi diberi kepercayaan yang sangat besar dan strategis oleh negara yaitu memegang senjata. Dan semua aturan tidak akan ada artinya kalau tidak ditegakkan.

Tak mungkin, sang presiden tak paham apa itu frasa “negara gagal”. Sekurang-kurangnya, tak mungkin juga, beliau tak membaca karya hebat Daron Acemoglu dan James A Robinson, Why Nations Fail.

Dalam jeda kunjungan kerjanya ke India beberapa waktu lalu, Prabowo masih terlihat mengunjungi sebuah toko buku langganannya. Kata karib saya, Probowo Subianto adalah seorang scholar dan pembelajar sejati.

Jawaban akademik atas 100 hari kerja penuh gairah dan semangat itu, disodorkan Litbang Kompas. Tingkat kepuasan publik kepada pemerintahan Prabowo-Gibran sebesar 89,9. Lembaga Indikator merinci lebih detail menurut kelompok usia. Gen Z (1997-2012) menjadi yang paling puas dengan kinerja Prabowo-Gibran, sebesar 81,7 persen. Ini berkorelasi dengan temuan bahwa mereka paling berperan penting dalam keterpilihan Prabowo-Gibran. Demikian diungkap Burhanuddin Muhtadi. Kalangan milenial (1981-1996) yang merasa puas 80,7 persen. Terendah, kelompok baby boomer (1918-1964) sebesar 73,4 persen.

Kita mungkin masih ingat dulu, di masa sebuah pemerintahan, begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo pernah melontarkan pernyataan berani, kebocoran APBN di setiap tahun kala itu, sekitar 30 persen. Bocor arti umumnya sudah pasti tidak efisien dan efektif. Bisa jadi juga dikorupsi. Entahlah. Menariknya, siapa sang begawan tadi. Dia adalah ayah sang presiden, yang di 100 hari kerja pemerintahannya, sedang bersih-bersih bebocoran anggaran negara, yang dulu disinyalir ayahnya.

Alkisah dalam acara perpisahan dengan seorang kepala sekolah yang hebat, para siswa, guru, hingga orang tua siswa, menangisinya. Tapi sang kepala sekolah berprestasi ini menyampaikan pesan bijaknya: Jangan dulu menilai bahwa saya hebat. Tunggu kepala sekolah baru yang akan datang, beri dia kesempatan beberapa waktu dan setelah itu baru anda bisa membandingkan dan menilai saya.

Pesan ini menyiratkan indikator fakta keberhasilan, legacy dan kejujuran. Dan 100 hari pemerintahan sang presiden ksatria ini, semoga memberi isyarat baik, negara ini makin mandiri, bermartabat, dihormati hingga disegani. Wallahua’lam. (*)