Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

_“Man is born free and everywhere he is in chains”_. (Jean Jacques Rousseau)

“_Manusia adalah makhluk yang terpenjara dalam persepsinya sendiri_”.

QUOTES di atas dikirimi Syaiful Bahri Ruray, sosok yang memberi prolog pada buku saya “Cermin Retak Kehidupan”, ketika kami mendiskusikan tema paling aktual khususnya di Maluku Utara pekan lalu. Itu terkait hasil survei integritas tahun 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi, di Gedung Juang KPK, pada Rabu (22/1/2024).

Dari berbagai sumber, survei integritas ini menyasar pemerintahan, pengguna layanan publik, serta para pakar dan ahli, dengan tujuan untuk memetakan celah korupsi yang terjadi di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Hasil dari survei ini akan digunakan sebagai bahan rekomendasi upaya pencegahan korupsi. Survei berkala ini melibatkan 641 instansi yang terdiri dari 94 kementerian/lembaga, 37 pemerintah provinsi, 508 pemerintah kabupaten/kota, dan 2 badan usaha milik negara [BUMN]. Total respondennya berjumlah 601.453 orang.

Proses survei dimulai dari pemetaan data populasi yang dikirimkan kementerian/lembaga/perangkat daerah lalu sampling responden, pengiriman laman kuesioner lewat WhatsApp dan e-mail, kemudian pengisian kuesioner.

Tujuan SPI ini, untuk mengukur tingkat atau resiko korupsi di suatu instansi berdasarkan “perspektif” responden internal, eksternal dan eksper. Hasil penilaian integritas dibagi dalam tiga kelompok, yakni rentan [merah/di bawah 72.9], waspada [kuning/73-77.9] dan hijau [terjaga/78-100]. Hasilnya sudah kita tahu. KPK menilai bahwa pemerintah daerah sudah berangkali mendominasi sebagai instansi yang rentan korupsi.

Provinsi Maluku Utara tercatat sebagai daerah dengan skor terendah sesuai indeks survei tahun 2024 sebesar 57,4 persen. Skor itu masuk dalam kerentanan yang cukup tinggi meliputi jual beli jabatan, pengadaan barang jasa, intervensi hingga gratifikasi.

Kita tahu juga bahwa nyaris di tahun 2024, Maluku Utara sudah dipimpin oleh pelaksana tugas gubernur dan dilanjutkan dengan penjabat gubernur hingga saat ini, setelah sebelumnya di tahun 2023, gubernur definitifnya terseret kasus hebat oleh KPK dan masih beproses hingga saat ini.

Kita tentunya percaya bahwa survei berkala KPK ini memiliki metodologi yang teruji secara akademik dan bukan abal-abal. Jika ingin mengujinya, bisa dengan metodologi yang teruji pula.

Saya mengutip sedikitnya, empat judul berita media saja dalam merespon rilis hasil survei ini, yang dalam pengamatan saya, cukup bikin “heboh” juga di tahun ini, hingga terkesan bombastis. Astaga! Maluku Utara Dinobatkan Sebagai Provinsi Paling Terkorup Di Indonesia Versi KPK, ini salah satunya. Yang lain, Dinilai Terkorup, Ekonom Minta Pemprov Malut Benahi Tata Kelola Pemerintahan. Ada juga, Pemprov Terkorup di Indonesia Diduduki Maluku Utara Versi KPK dan Maluku Utara Jadi Provinsi Paling Korup Versi SPI KPK.

Banyak survei persepsi publik tentang kinerja lembaga-lembaga publik, termasuk pemerintah daerah, yang kita tahu. Mungkin juga instrumen dan metodologinya bisa “berbeda” dengan yang pakai KPK. Tingkat kepuasan publik atas layanan pemerintah, misalnya. Meski kadang terasa lucu, membiayai survei untuk menilai tingkat kepuasan publik atas kinerja dan layanan lembaganya. Kata teman saya, kucing memuji permainan ekornya sendiri.

Secara umum, persepsi dibentuk oleh pengetahuan dan penginderaannya tentang sesuatu objek atau fakta. Sulit memang “meraba-raba” persepsi. Bisa saja terjadi, objek atau faktanya sudah “bergeser” tetapi persepsi terhadapnya masih tetap karena kurang update fakta.

Orang jahat yang telah lama berubah menjadi baik, masih belum lepas dari bayang-bayang kejahatan masa lalunya dalam persepsi publik. Saya bercanda dalam percakapan di sebuah grup WhatsApp bahwa perilaku dan kebiasaan di masyarakat kita, orang yang berpoligami sudah sekian tahun lalu, hingga telah lama bergabung dengan komunitas jamah tabliq saja, masih tetap dipandang sebelah mata.

Sebaliknya, orang atau lembaga yang terlanjur dipersepsikan baik, itu sangat menjebak. Menyembunyikan keburukanpun tetap di anggap baik. Logikanya mirip jenis opini Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], predikat Wajar Tanpa Pengecualian [WTP], tak menjamin pemerintah daerah yang meraihnya, terbebas potensi korupsi bahkan mungkin korupsi sekalipun.

Bagi pemerintah Daerah yang meraih skor rendah dan jauh dari ekspektasi KPK, ini menjadi alarm pembenahan tata kelola, menutup dan meminimalisir sekecil apapun potensi terjadinya penyimpangan keuangan negara, karena keuangan negara itu akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat Indonesia itu jumlahnya ratusan juta, bukan satu atau dua orang yang bertanggung jawab mengelolanya. Sedangkan bagi pemerintah daerah yang ekspektasinya sedikit lebih baik, tak ada jaminan pemerintahan anda terbebas potensi korupsi bahkan korupsi. Tidak ada yang bisa menjamin indeksnya tinggi berkorelasi dengan rendah bahkan tak ada potensi korupsinya. Bahkan yang paling berbahaya, yang telah disebut tadi, yang terlanjur di persepsikan baik, itu sangat menjebak. Menyembunyikan keburukanpun tetap dianggap baik. Juga sebaliknya. Ini soal komitmen dan kepemimpinan.

Yang lucu, judul beberapa berita media yang saya kutip tadi, sudah terlanjur “menghakimi”. Masih “berpotensi” tetapi seolah telah menjadi fakta. Bisa saja terjebak dan korban persepsi juga. Saya merenungi kutipan quotes pembuka dari senior saya di atas. Wallahua’lam. (*)