Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
_______
Tak mudah memang, menulis tentang sosok yang dekat dengan kita. Sebut saja itu karib kita. Meski begitu, saya berusaha sekemampuan saya untuk menghindari subjektitas yang tak perlu.
Menanggapi beberapa respon teman, meminta fasilitas diberikan secara cuma-cuma buku terbitan perdana saya beberapa lalu, saya berbagi kisah lucu ini dengan senior kami sekaligus yang memberi kata pengantar pada buku Cermin Retak Kehidupan ini, Syaiful Bahri Ruray di Jakarta.
Sedikitnya, saya curhat apa yang saya kesalkan ini. Betapa tidak, ini datang dari orang-orang yang relatif terpelajar dan bergelar sarjana, insan akademis, terminologi yang dipakai organisasi mahasiswa paling tenar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Insan akademis karena punya gelar akademis, yang itu didapat melalui pendidikan di lembaga pendidikan tinggi. Sejatinya, gelar akademik harus koheren dengan sikap akademis, menghargai ilmu pengetahuan dan karya-karya akademis. Bentuk karya akademis itu, salah satunya adalah buku. Buku itu berisi hasil berpikir dan karya intelektual bukan mengarang bebas, sesuatu yang mesti dihargai tinggi oleh insan akademis. Di situ korelasinya.
Tanggapan beliau sudah saya duga arahnya: Jangan dibiasakan, itu merusak mentalitas lokal. Tidak mau berkorban apa-apa tapi maunya cuma terima bersih saja. Ko Ipul, sapaannya, melanjutkan ketegasannya: jangan digubris yang begitu-begitu. Turut melembagakan tradisi buruk, anti akademis, anti intelektual, kata bang Fachry Ali. Tentu nama terakhir yang beliau maksudkan ini, kita paham siapa dia.
Pesan itu datang, tak saya duga. Meminta untuk membelinya satu eksemplar sekaligus meminta nomor rekening saya. Spontan dan tanpa basa-basi, di dua malam lalu. Dan semalam, kami berbagi obrolan lewat pesan WhatsApp setelah saya memberi konfirmasi pesanannya disertai potongan vidio pendek hasil cetakan kedua buku saya setebal 423 halaman ini, yang baru selesai dicetak edisi revisi oleh sebuah penerbit di Bandung. Sama seperti pandangan karib saya di Ternate, Nasrun A. Samaun, yang mengirim pesan meminta untuknya satu eksemplar dengan memberi konpensasi biaya yang lebih sembari menyatakan ketidaksetujuannya mengobral murah produk kerja dan hasil berpikir, respon spontan senior ini bikin kaget, memberi saya surprise, menghargai satu eksemplar buku ini dengan beberapa kali lipat nilai rupiah untuk ongkos cetak dan biaya pengirimannya.
Yang jadi spesial, karena pesan ini yang menyertainya juga: pemikir dan penulis itu mahal, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan. Saya cuma bisa menyuguhkan sekadar biaya kopi untuk penulis, disertai emoji memberi hormat.
Tinggalkan Balasan