Rozy (2019) menjelaskan politik identitas sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya. Menurutnya politik identitas dapat memunculkan toleransi dan kebebasan disatu sisi sementara kekerasan verbal fisik termasuk pertentangann etnik pada sisi yang lain.
Heyes (2021) mengemukakan politik identitas sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan dari anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender atau keagamaan. Berbagai studi menemukan gerakan politik identitas umumnya lahir sebagai bentuk protes terhadap praktek pemerasan, diskriminalisasi marginalisasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme.
Di Indonesia gaung politik identitas bukan baru berhembus di moment politik tetapi sebelum kemerdekaan telah menjadi kekuatan moral dan alat perjuangan melawan imperialis. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk muslim para pejuang menggelorakan perlawanan terhadap penjajah dengan memanfaatkan simbol keislaman. Santri dan pondok pesantren misalnya dikenal sebagai ujung tombak perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Para kyai dan ulama membangun kesadaran bela negara dan nasionalisme dengan slogan hubbul wathan minal iman “cinta tanah air adalah bagian dari iman”.
Di saat terjadi Perang Dunia 2 di mana Jepang menguasai Hindia Belanda pemimpin pondok pesantren juga melakukan konsolidasi untuk mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk barisan pejuang yang disebut Laskar Hisbullah, Laskar Sabilillah dan sebagainya, kemudian menjadi cikal bakal pembentukan Badan Kemanan Rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat hingga akirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia, sebelumnya ABRI. Bahkan seruan untuk mempertahankan kemerdekaan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dikenal dengan Resolusi Jihad merupakan komitmen bersama para ulama pondok pesantren se-Indonesia yang ditandatangani di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945.
Dalam perspektif historis penggunaan identitas keagamaan telah terbukti mampu membangkitkan nasionalisme. Ironisnya dalam kondisi sosial saat ini keberadaan ormas berbasis keagamaan yang berhaluan keras dipandang sebagai ancaman terhadap NKRI. Jika mereka “konfrontasional” akan dituduhkan dengan stigma radikalisme, intoleran, teroris anti bahkan ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Di sisi lain negara merasa lebih nyaman membangun relasi dengan ormas yang dipandang bersikap moderat, bisa menjadi corong sekaligus bemper melawan kelompok pandangan politis dan ideologis. Kasus pembubaran FPI dan HTI adalah salah contoh betapa negara “alergi” dengan kelompok yang menjadikan politik identitas sebagai spirit perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan dan hak-hak sosial poltik lainnya.
Indonesia dikenal negara dengan kekayaan multikultural yang tidak dijumpai banyak negara di dunia. Kekayaan ini seharusnya dirawat menjadi kekuatan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa besar. Lantas bagaimana cara merawatnya, jawabnya jika negara hadir mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat keadilan yang meliputi sosial, politik, ekonomi dan hukum saat ini masih menjadi barang mahal bagi mayoritas rakyat Indonesia. Dengan demikian politik identitas akan menjadi kekuatan yang merajut dimensi perbedaan menjadi kekuatan yang memberi manfaat, bukan mudarat, bagi integrasi bangsa. (*)
Tinggalkan Balasan