Oleh: Ricco Survival Yubaidi, S.H., M.Kn., Ph.D
Notaris, PPAT, Dosen Fakultas Hukum UII
______
PENDAFTARAN tanah di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam sistem hukum pertanahan. Pendaftaran ini tidak hanya bertujuan untuk mendata kepemilikan tanah, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yaitu recht kadaster dan fiscal kadaster. Recht kadaster bertujuan memberikan kepastian hukum bagi subjek yang melakukan pendaftaran, sementara fiscal kadaster berkaitan dengan aspek perpajakan. Dalam konteks recht kadaster, pendaftaran peralihan hak maupun pencatatan perjanjian sewa-menyewa merupakan langkah penting untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat.
Pencatatan perjanjian sewa-menyewa pada sertipikat hak atas tanah merupakan salah satu aspek yang sering kali diabaikan oleh banyak pihak. Padahal, pencatatan ini memiliki peranan yang sangat vital dalam memberikan perlindungan hukum baik bagi pemilik tanah maupun penyewa. Dengan melakukan pencatatan, perjanjian sewa-menyewa tersebut memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan diakui oleh pihak ketiga. Hak sewa sebenarnya sudah dikenal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Namun, mengenai mekanisme pencatatan perjanjian sewa baru banyak ditemukan pengaturannya pasca terbitnya PP Nomor 18 Tahun 2021. Aturan mengenai pencatatan perjanjian sewa-menyewa ini secara eksplisit baru tercantum pada Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 sebagai salah satu peraturan pelaksana pasca terbitnya PERPU Cipta Kerja.
Pasal tersebut berbunyi, “Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pencatatan perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sewa atas tanah terdaftar ke Kantor Pertanahan. Pencatatan dilakukan pada daftar umum dan/atau sertipikat Hak Atas Tanah.” Bagi pihak yang berkepentingan yang melakukan pencatatan tersebut, sesuai dengan Pasal 127 B ayat 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2021, akan dilakukan pencatatan sehingga tercantum dalam daftar umum dan/atau Sertipikat Hak Atas Tanah berupa kalimat: “Hak Atas Tanah/Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini merupakan objek perjanjian sewa antara pemegang hak sewa dengan … sesuai dengan Akta Perjanjian Sewa Nomor … tanggal … yang dibuat oleh … Notaris di ….”
Pencatatan ini sangat mudah dilakukan oleh pihak berkepentingan atau melalui kuasa ke Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan akta perjanjian sewa-menyewa serta asli sertipikat hak atas tanah bersangkutan. Dengan adanya aturan ini, baik pemilik tanah maupun penyewa memiliki dasar hukum yang jelas untuk melakukan pencatatan perjanjian sewa-menyewa. Pencatatan ini memberikan jaminan bahwa hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian diakui secara hukum dan tidak dapat dengan mudah diganggu gugat.
Untuk penyewa, pencatatan perjanjian sewa-menyewa pada sertipikat tanah memberikan jaminan bahwa hak sewanya diakui secara hukum dan tidak dapat dengan mudah diganggu gugat. Hal ini sangat penting terutama dalam perjanjian sewa-menyewa jangka panjang, di mana kepastian dan stabilitas dalam menempati lahan tersebut sangat diperlukan. Bagi pemilik tanah, pencatatan perjanjian sewa-menyewa juga memberikan keuntungan yang signifikan. Dengan melakukan pencatatan, pemilik tanah memiliki bukti hukum yang kuat mengenai keberadaan perjanjian sewa-menyewa tersebut. Ini melindungi pemilik dari klaim atau sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari. Misalnya, dalam kasus penjualan tanah, pembeli baru akan mengetahui adanya perjanjian sewa-menyewa yang masih berlaku dan harus menghormati hak-hak penyewa yang telah tercatat.
Penting untuk dipahami bahwa pendaftaran tanah memiliki fungsi ganda yaitu recht kadaster dan fiscal kadaster. Dalam hal recht kadaster, tujuan utamanya adalah memberikan kepastian hukum bagi subjek yang melakukan pendaftaran. Oleh karena itu, pendaftaran peralihan hak maupun pencatatan perjanjian sewa-menyewa sebenarnya juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum tersebut. Meskipun proses pencatatan ini penting, masih banyak pihak yang mengabaikannya. Banyak perjanjian sewa-menyewa yang hanya dilakukan secara lisan atau dalam bentuk dokumen tanpa pencatatan resmi. Praktik semacam ini dapat menimbulkan risiko hukum di kemudian hari, terutama jika terjadi perselisihan antara penyewa dan pemilik tanah atau jika ada pihak ketiga yang berkepentingan terhadap tanah tersebut.
Tinggalkan Balasan