Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

_______

DI depan pintu utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tidore terpampang dua papan kecil bertuliskan peringatan: dilarang mengambil dan menurunkan penumpang di depan gapura.

Ini dilakukan karena sering sekali angkutan kota angkot dan bentor, sejenis kendaraan modifikasi beroda tiga untuk angkutan penumpang, berhenti untuk menurunkan hingga menaikkan penumpang di depan gerbang utama itu. Saya sering mengamati perilaku itu di banyak kesempatan, hingga saat melihat papan peringatan itu kemarin, saya tertarik memotretnya.

Para sopir angkot dan pengemudi bentor tadi mungkin tak tahu, tak menyadari, bahkan mungkin sengaja dan tak mau tahu bahwa rumah sakit adalah salah satu jenis fasilitas pelayanan publik yang oleh aturan, diberi beberapa privilege, laiknya pemadam kebakaran, dan lain-lain. Mereka tak menyadari bahwa di pintu masuk rumah sakit itu ada banyak akses kendaraan masuk-keluar yang sifatnya emergency, darurat untuk pelayanan pasien. Menunggu beberapa waktu di depan pintu masuk itu bagi mobil ambulans yang sedang menolong pasien dalam kondisi kritis bisa berakibat lain.

*******

Di jalanan umum dalam kota, kesemrawutan lalu lintas juga banyak kita temui. Paling nampak, ini dipicu dua moda transportasi tadi. Saya sudah berulang mengingatkan itu, baik lewat tulisan di akun Facebook saya hingga di media begini. Keprihatinan awal dipicu tiga insiden kecelakaan lalu lintas yang dialami bentor tadi, yang saya lihat sendiri. Dua korban lakalantas di dua tempat yang berbeda itu terjadi di satu perempatan jalan, dan satunya lagi di pertigaan. Korbannya dua orang ibu. Salah satu korbannya dari sepulang berbelanja itu, seorang ibu tua, yang dilarikan ke RSUD tadi, dan belanjaannya berserakan di jalan.

Ini dipicu oleh minimal dua hal: desain hasil modifikasi kendaraan ini yang menempatkan penumpangnya di depan dan perilaku pengemudinya yang ugal-ugalan. Semua kita telah menyadari itu, tetapi faktanya kita hanya sebatas menyadari. Dan situasi begini terus berulang hingga detik ini. Kita sepertinya sedang “mengundi nasib” buruk bagi calon penumpangnya. Di “peringatan” kesekian kali ini, saya mengajak para pemangku kepentingan dalam urusan ini hingga siapa saja yang mau “menguji” tesis di tulisan ini, untuk luangkan sedikit waktu di jam sibuk mengamati prilaku berlalu lintas, khusus pengemudi bentor ini, di jalur sepanjang depan SMAN 1 Tidore hingga depan gedung UMKM di pantai Tugulufa. Amati saja sampel semrawutnya perilaku berlintas ini dalam tiga situasi: berhenti di tikungan, berbalik di tikungan dan mengambil posisi berhenti melawan arah. Abaikan dulu hal-hal lain seperti parkir tak beraturan, “dan kawan-kawan”.

Perilaku para sopir angkot jauh lebih baik. Yang tak baik, tetapi kita pura-pura lupa, adalah menggunakan lampu depan warna-warni di malam hari dalam kondisi penerangan jalan yang terbatas. Ada kuning, ada juga merah. Bukan fungsinya untuk keselamatan yang dipikirkan sebagai moda transportasi publik, tetapi lebih pada soal gaya-gayaan. Ini hal paling aneh yang pernah saya lihat.