Oleh: Anwar Husen
Kolomnis/Tinggal di Tidore
_______
PAGI kemarin, saat menemani sang istri ke pasar ikan, saya bertemu seorang karib. Dia ASN di pemerintah daerah kota Tidore Kepulauan. Sembari mengamati pengerjaan penataan saluran dan lain-lain di lokasi Tempat Pendaratan Ikan [TPI] Goto, salah satu UPT dinas Perikanan provinsi Maluku Utara ini, kami mengobrol lepas soal harga ikan.
Bukan baru pagi kemarin saya menyambangi pasar ikan. Sudah sekian lama, berbelanja ikan mentah ataupun sekadar melihat-lihat siapa tahu ada jenis ikan kesukaan. Tak hanya di Tidore, di Ternate juga sama. Pun, di tempat lain jika berkesempatan karena tugas. Bercengkrama dengan bau amis di area itu, bisa “ditebus”, minimal dengan pemandangan aneka warna dan jenis ikan yang menyenangkan.
Karib tadi berseloroh, sudah puluhan tahun harga ikan begini-begini terus. Maksudnya, nyaris tak ada pengaruhnya dengan soal “musiman”, saat di mana stok ikan membludak di pasaran. Juga soal kebijakan, dari Dinas Perikanan misalnya, yang memang memiliki tugas pokok dan fungsi mengurusi soal ini.
Di daerah ini, Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara, di waktu dekat ini bakal punya hajatan nasional. Namanya peringatan Hari Nusantara, sebuah momentum yang didedikasikan untuk mengenang Deklarasi Djuanda di 13 Desember 1957, soal penegasan tentang luas laut kita menjadi 12 mil dari garis pantai didasari prinsip negara kepulauan, achipelago state.
Jika tidak karena deklarasi “penegasan sikap” yang menolak lebar laut kita yang “hanya” 3 mil ini, mungkin di antara pulau-pulau kita, tak sepenuhnya adalah perairan teritorial tetapi statusnya adalah perairan internasional. Tentu dengan segala konsekuensinya. Yah, itu sejarahnya. Tetapi yang ingin saya tulis di sini adalah soal harga isi lautnya, ikan, sesuatu yang sering sekali jadi materi “ngerumpi” ibu-ibu kita.
***
Di sebuah forum musrenbang daerah di Tidore, sekitar 15 tahun lalu, saya pernah mengkritisi sekaligus sharing gagasan dengan OPD Dinas Perikanan. Saya bilang, kita ukur dulu indikator kinerja dan capaian rencana kerja per tahun. Setiap nominal yang jadi perlakuan dari APBD setiap tahun, harus terkonversi menjadi output kebijakan yang bisa diukur. Apa yang diukur dari komoditas ikan per tahun? Saya bilang, meningkat dari segi keragaman jenis, meningkat tingkat “kesegarannya” [satuan waktu antara mulai ditangkap hingga dikonsumsi] di level rumah tangga dan meningkat tingkat ketersediaannya, menggunakan satuan waktu 1×24 jam misalnya, ditambah variabel harga yang rasional dan terjangkau.
Jadi bisa disederhanakan dengan logika begini: kapan saja di waktu 1×24 jam di pasar ikan, ibu-ibu kita bisa mendapatkan pilihan 10 jenis ikan segar dengan harga yang rasional dan terjangkau. Di APBD tahun berikutnya, indikator tadi diupayakan untuk terus meningkat. Sampai di sini, baru anda bisa berpikir hingga menganalisis bagaimana caranya, saran saya. Tak hanya soal ikan, komoditas pertanian yang jadi konsumsi rutin, juga sama cara berpikirnya, agar secara perlahan kita mengurangi ketergantungan suplai dari luar daerah.
Tinggalkan Balasan