Bahwa ada pengetahuan tertentu sebagai alat bantu, dari ahli tafsir misalnya. Tidak bisa secara tekstual semata, apalagi materinya di level “kunci ibadah”, dasar-dasar pengetahuan agama. Karena ada juga perilaku awam yang senang mengutip pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci, meski dengan kadar pengetahuannya yang terbatas. Mengidentifikasi diri dengan simbol-simbol agama agar terlihat hebat.
Saya mengutip potongan ceramah Buya Arrazy bahwa kelompok paling pertama dan paling rendah tingkatan makrifatnya adalah ahli ibadah yang tak berilmu. Mereka beribadah dengan berharap imbalan surga. Mereka berpikir ibadahnya bisa membeli surga. Ini kelompok bermental karyawan, bekerja karena mengharapkan imbalan upah. Kelompok ini diistilahkan sebagai panitia seleksi masuk surga dan neraka karena suka mempersoalkan dan menyalahkan orang yang terlihatnya tidak beribadah salat, misalnya.
Apa yang diungkap senior lainnya, Darsis Humah, seorang dosen IAIN Ternate, mungkin bisa menjadi preferensi yang mempengaruhi perilaku keberagamaan kita khususnya di Maluku Utara. Beliau menyebut bahwa Islam di Maluku Utara itu dari “jalur utara” [Farisi] yang bercorak sufistik dan “jalur selatan” [Hadrami] yang bercorak fiqhiyat/syariat. Corak ini sedikit banyak terlihat kental praktiknya khususnya di Maluku Utara. Bang Darsis, yang sering kami sapa, berpandangan lain terkait pidato Mahathir tadi. Beliau justru menyalahkan kebijakan di level pemerintahan, yang notabene mantan perdana menteri Malaisya ini paling berkepentingan saat itu, yang patut disalahkan soal keberpihakan politik kepada etnik Melayu ini.
Diskusi di WAG tadi memaksa saya mencari-cari ulang tulisan almarhum Nurcholish Madjid di masa mudanya, tetapi memberi perspektif. Pikiran-pikiran almarhum di masa muda yang terangkum dalam buku Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan, khususnya di part tema khutbah di masjid-masjid. Terlihat bahwa di masa mudanya di tahun-tahun 70-an, beliau telah “gelisah”, jauh sebelum diungkap Mahathir ini. Almarhum gelisah dengan tema-tema khutbah umumnya di masjid, di masa itu, yang bicara soal amar ma’ruf dan nahi munkar. Seolah bahwa dalam hidup ini kita hanya “berjaga-jaga” siang dan malam untuk soal ini dan lupa orientasi hidup yang lebih produkif dan realistik. Padahal negara ini sedang berada di awal-awal tonggak pembangunannya.
Mengutip pesan ayat dalam kitab suci, beliau menyebutkan ada tiga serangkai petunjuk bagi para pemimpin masyarakat/umat, yaitu berturut-turut [1] Da’wah ilal khair, dalam khaitannya dengan kebaikan yang idealistik, [2] Amar ma’ruf, dalam khaitannya dengan kebaikan yang praktis dan [3] Nahi munkar, pencegahan dan pelarangan hal-hal yang kurang baik. Ketiganya serangkai, jangan dipisah apalagi hanya diambil satu-satu saja.
Jika yang pertama saja yang diambil maka para pemimpin umat itu cenderung normatif saja, tidak realistik. Sehingga tak ada efek berarti secara sosial. Jika kedua saja, mungkin seorang pemimpin akan menjadi terlampau pragmatis. Dan yang paling berbahaya, hanya mengambil yang ketiga saja sebab dia hanya akan membuat seseorang mengetahui apa yang tidak disetujuinya saja, pandai melarang tanpa bisa memberi jalan keluar. Dan mungkin cara ini paling mudah karena melarang, mencaci ataupun mengutuk, tak membutuhkan pengetahuan yang banyak. Orang lebih mudah mengatakan apa yang dia tidak mau daripada mengatakan apa yang dia mau.
Tinggalkan Balasan