Percayalah bahwa setiap orang yang berjasa, mempunyai karya, berintelektual, beretika dan bermoral. Tentu akan mendapatkan porsi yang istimewa di hati rakyat, kata Abraham Lincoln, “From the people, by the people, for the people” dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Coba kita periksa beberapa catatan pemimpin-pemimpin hebat di zaman kenabian dan para sahabat yang memimpin dengan hati dan iman.
Bukan dengan kesombongan dan nafsu birahi terhadap kesewenang-wenangan. Karenanya penerapan sistem demokrasi sejatinya adalah momentum dimana masyarakat bisa menilai prestasi suatu kekuasaan. Apakah masih bisa dilanjutkan atau diganti? Bukan melihat demokrasi sebagai sebuah bangunan yang menampung oligarkis, Borjuis, dinasti dan sebagainya.
Menurut, Andreas Ufen seorang ilmuwan politik asal Jerman, bahwa politik di Indonesia sangat kental mencerminkan kecenderungan “filipinisasi”. Yaitu Adanya intervensi elit penguasa, oligarki, otoritarianisme dan adanya kediktatoran dalam internal partai politik akhir-akhir ini. Jika memang benar yang disampaikan Ufen, maka sistem politik kita telah mundur jauh, jauh sekali kebelakang sebelum reformasi.
Apalagi isu PKI versus Ulama yang disedorkan kepada publik akhir-akhir ini melalui media sosial. Padahal generasi tak paham soal-soal seperti itu, kita bukanlah pewaris pertikaian era bung Karno dan Seoharto. Kita adalah generasi baru dengan pikiran yang baru untuk membawa bangsa Indonesia yang lebih besar di mata dunia internasional.
Kini, saatnya politik gagasan. Politik yang tak lagi mengandalkan kekuatan oligarki, kekuatan uang dan kekuatan penguasa. Biarlah rakyat menentukan pilihannya tanpa tekanan dari pihak manapun. Dengan begitu demokrasi kita akan memproduksi pemimpin yang berkualitas sehingga proposal perubahan yang kita titipkan dapat direalisasikan ketika mereka bertugas. (*)
Tinggalkan Balasan