Pertama, rising income. Karena ada keinginan untuk memacu peningkatan keuangan negara, sehingga perlu memperbanyak investasi. Kedua, political buying. Ada kesepakatan berujung transaksi politik melalui berbagai mekanisme, misalnya akuisisi, merger, dsb, sehingga pemerintah bisa didorong untuk membuat regulasi-regulasi yang memudahkan.
Karena itu, dalam ulasan Beatti, ada pendekatan (approach) yang disebut future and options, yang berbasis kontrak antara antara investor dan pemerintah untuk memperdagangkan sumber daya alam. Pendekatan ini sekaligus menjadi kesempatan yang memungkinkan para investor memanfaatkan modalnya ke arah jangka panjang.
Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, pola atau struktur negaranya yang bertingkat, dari pusat ke daerah, kebijakan bersifat top down, kekuasaan hanya menguat di level pusat, dan kentalnya conflict of interest. Akhirnya, Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor sumber daya alam pun masih timpang dan menjadi polemik yang tidak berkesudahan.
Lantas mau bicara untung, faktanya tidak ada peningkatan mutu hidup masyarakat. Kemiskinan terus meningkat. Ancaman ekologi yang meluas. Maluku Utara sebagai daerah yang termasuk dalam predikat “lumbung investasi terbesar” bisa mengurai segala kompleksitas hanya jualan para elite.
Bentuk Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi di sini adalah gambaran umum bagi para investor yang mengabaikan tanggung jawab, etika, moralitas, dan seringkali hukum menguntungkan mereka sebagai pemegang saham. Boleh saja ada maksud baik bagi investor untuk menguntungkan masyarakat tetapi praktiknya sangat ekstrem karena dapat mengakibatkan kelangkaan ekologi dan darurat iklim.
Tinggalkan Balasan