Dari kedua pasal di atas, muncul pertanyaan hukum apakah pasal-pasal tersebut telah tepat untuk menjerat Mario Dandy dan Shane? Ataukah terdapat pasal lain yang lebih menjawab baik secara akademis, praktik dan keadilan bagi korban yang sudah tentu merupakan hukum tertinggi? Seperti yang pernah diucapkan oleh Alm Prof. Sajipto Raharjo bahwa bukankah hukum itu dibuat untuk manusia dan bukan untuk hukum.
Dalam mengkonstruksi kasus pidana, tidak bisa melepaskan diri dari ajaran hukum pidana baik secara asas, teori dan bahkan keadilan itu sendiri. Dalam kasus pidana, tempus delicti dan locus delicti merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan, dikarenakan tempus delicti dan locus delicti inilah yang menjadi pintu awal untuk mengetahui siapa menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi saksi-saksi serta terkait dengan barang bukti yang terdapat dalam tempat kejadian perkara. Hal-hal penting inilah yang kemudian sangat membantu dalam menemukan Elementen Delicts dan Bestandelen Delicts untuk memperkuat pembuktian kesalahan dan sifat melawan hukum pembuat pidana dalam persidangan.
Apabila melihat kedudukan korban yang masih dikategorikan anak sesuai UU Perlindungan Anak, maka sifat khusus undang-undang terpenuhi. Akan tetapi perlu diketahui bahwa terdapat kelemahan secara hukum, dikarenakan pengaturan norma pidana dalam UU Perlindungan Anak tidak begitu baik dalam membuat klasifikasi perbuatan pembuat pidana dan ketidakseimbangan dengan ancaman pidana.
Hal ini terlihat di mana UU Perlindungan Anak tidak memuat Elementen Delicts dan Bestandelen Delicts terkait kualifikasi “kekerasan terhadap”, sedangkan kekerasan terhadap korban anak bisa beragam sifat dan jenis perbuatannya baik yang menimbulkan kekerasan sampai menimbulkan kematian bagi korban anak, selain itu tidak tercantumnya unsur “rencana lebih dahulu” sebagai Bestandelen Delicts dalam pengaturan norma pidana UU Perlindungan Anak. Berbeda halnya dengan KUHP produk Belanda, di mana jenis, sifat, kualifikasi perbuatan pembuat pidana sangat jelas, sebagai contohnya perbuatan pidana seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang tidak hanya diatur dalam Pasal 340 KUHP dan Pasal 338 KUHP, namun terdapat juga dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3, Pasal 359 KUHP dan Pasal 355 ayat (2) KUHP.
Menurut penulis apabila dikaitkan dengan kronologis singkat di atas, terbuka peluang terdapat unsur “voorbedachte raad” sebagai inti delik (Bestandelen Delicts) yang tidak bisa diabaikan oleh penyidik, dikarenakan ada fakta di mana perbuatan pidana tersebut tidak secara spontan dilakukan oleh pembuat pidana, namun didahului dengan tindakan “konfirmasi” dan “mendatangi korban” sebenarnya perbuatan ini merupakan inti delik itu sendiri, selain itu ada akibat yang menyebabkan korban masuk rumah sakit mendapatkan perawatan serius. Maka secara hukum, Pasal 351 ayat (2) KUHP tidak tepat digunakan oleh penyidik untuk menjerat Mario Dandy dan Shane, dikarenakan tidak terdapat “voorbedachte raad” sebagai Bestandelen Delicts dari kesalahan dan sifat melawan hukum para pembuat pidana.
Tinggalkan Balasan