“Di mana dalamnya terdapat locus delicti dan tempus delicti. Selanjutnya bicara soal penyidikan maka minimum alat bukti harus terpenuhi,” tutur Hasrul.

Visum et repertum dan otopsi, sambungnya, adalah bagian penting dari alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP dalam kedudukan sebagai alat bukti ahli ataupun surat, dikarenakan dalam proses hukum pidana formil terkait dengan adagium “Incriminalibus Probantiones Bedent Esse Iuce Clariores” artinya bukti harus lebih terang dari cahaya.

Hasrul menyampaikan, ketika visum et repertum dihadirkan dalam sidang pidana yang menuntut mencari kebenaran materiil, maka seluruh komponen yang terdapat dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini hakim, jaksa penuntut umum dan penasihat hukum harus jeli memeriksa visum secara formil dan materil.

“Secara formil, visum harus tertulis dan permintaan visum hanya dilakukan pada peristiwa yang baru terjadi. Sedangkan secara materil, visum harus dibuat sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban, artinya suatu visum yang dihadirkan dalam sidang adalah visum yang mencatat keadaan korban saat masih hidup, sehingga tidak bisa dipakai sebagai alat bukti untuk menerangkan kematian terdakwa perlu diketahui bahwa visum hanya bicara soal akibat,” paparnya.

Apalagi visum et repertum tersebut jenisnya adalah visum sementara dikarenakan dalam visum sementara hanya terkait perawatan lebih lanjut yang berhubungan dengan luka-luka yang disebabkan tindak pidana, di mana ini dalam lingkup untuk korban yang masih hidup. Sehingga menurut Hasrul, secara hukum tidak bisa dijadikan dasar menentukan kesalahan terdakwa sekaligus kausalitas perbuatan pidana.