Oleh: Aida Radar

Penulis Lepas

______

DI Indonesia, kita tidak asing lagi dengan informasi bahwa negara ini selalu menduduki peringkat terbawah dalam perankingan literasi dunia khususnya membaca. Informasi ini secara tidak langsung menyusupi pemikiran kita bahwa orang Indonesia memang pada dasarnya lemah dalam kemampuan membaca. Apakah memang seperti itu? Apakah kita memang sejak dulunya bukan bangsa pembaca? Apakah penyebutan sebagai masyarakat yang kuat akan tradisi lisan membuat orang Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi masyarakat yang juga kuat tradisi membacanya seperti yang didengungkan selama ini? Ataukah sebenarnya kita hanya belum tahu atau sudah tahu tapi belum benar-benar menerapkan cara mengajarkan dan mempelajari aktivitas membaca dengan baik, terencana, terstruktur, berkelanjutan, dan serius?

Faktor-faktor Minimnya Minat Baca di Indonesia

Lemahnya kemampuan membaca di Indonesia dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama. Pertama, (kabarnya) faktor budaya. Ada keyakinan dalam masyarakat bahwa orang Indonesia lebih kuat pada tradisi lisan dibandingkan tradisi membaca. Keyakinan ini berlanjut pada klaim anak-anak Indonesia malas membaca yang dibuktikan dengan hasil survey dari PISA (Program for International Student Assessment) di tahun 2019 yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-74 dari 79 negara di dunia dalam kemampuan literasi. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran teknologi yang tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga mendistraksi perhatian masyarakat pada literasu seperti televisi, handphone, dan video games.

Faktor kedua, sumber daya, mencakup minimnya fasilitas dan tenaga profesional. Dalam rentangan geografis Indonesia yang membentang luas, fasilitas di perpustakaan yang umumnya terletak di ibukota kabupaten/kota dirasakan tidak bisa menjangkau daerah-daerah di pelosok  sehingga berujung pada dIstribusi buku-buka perpustakaan yang tidak merata. Di sisi tenaga profesional, sudah bukan rahasia lagi jika beberapa pustakawan (tidak dikatakan semuanya) di banyak perpustakaan-perpustakaan pemerintah bukan datang dari latar belakang pembaca buku (bookworms) atau aktivis literasi yang pada dasarnya mempunyai pengalaman dan kreativitas dalam aktivitas membaca. Beberapa pustakawan (sekali lagi tidak bisa dikatakan semuanya) bahkan berasal dari pegawai-pegawai pemerintah daerah yang pada mula penerimaannya sebagai pegawai memang tidak disiapkan dan dikhususkan sebagai pustakawan.

Faktor, kebijakan, yang termasuk di dalamnya juga adalah partisipasi masyarakat dan stakeholders terkait. Saat survey-survey PISA di tiap tiga tahunan menempatkan Indonesia di ranking-ranking terakhir negara tidak melek baca, pemerintah  ̶ juga bekerjasama dengan masyarakat, melakukan banyak aksi berupa program-program peningkatan minat baca sebagai reaksinya. Beberapa program tersebut seperti membaca 15 menit setiap hari sebelum aktivitas belajar mengajar di sekolah-sekolah dimulai, mendukung Taman Baca Masyarakat (TBM) yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia, mendiskusikan pengembangan dan perkembangan literasi melalui Serambi Literasi, melaksanakan ekshibisi literasi dan workshop secara virtual selama masa pandemic Covid-19. Usaha-usaha akhirnya membuahkan hasil dengan peningkatan rating melek literasi secara statistik (The Jakarta Post, 2020).

Peningkatan minat baca setelah adanya program-program yang mendukung pengembangannya menunjukkan bahwa membentuk masyarakat pembaca di Indonesia bisa diupayakan. Teori-teori untuk meningkatkan minat baca masyarakat sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum. Namun rupanya teori-teori ini belum diimplementasikan secara maksimal karena hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah dan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai target melek literasi yang diinginkan. Pekerjaan ini juga tidak bisa dilakukan oleh pemerintah seorang diri tetapi juga harus ada campur tangan masyarakat di dalamnya. Pemerintah perlu berkolaborasi dengan masyarakat dan stakeholders terkait untuk merealisasikan rencana-rencana pengembangan literasi baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Kerja kolaboratif ini mungkin saja bisa dimulai di Maluku Utara. Lalu, bagaimana caranya?