Beredar kabar, desakan untuk membentuk sebuah propinsi baru di wilayah Maluku bagian Utara – yang sudah sangat lama diperjuangkan dan menyebabkan banyak orang-orang daerah ini “mati berkali-kali untuk NKRI” – belum disikapi secara serius. Padahal, sebulan sebelumnya, dalam sebuah forum reformasi politik dan keuangan di lantai tiga kantor Bupati, sejumlah elit dan aktifis pergerakan berkumpul dan bertukar gagasan. Hari itu, 27 Oktober 1998, politisi Golkar, Syaiful Bahri Ruray yang kebagian bicara reformasi bidang politik secara terbuka menawarkan gagasan otonomi kawasan Moloku Kie Raha sebagai propinsi baru.
Ketidakseriusan Jakarta membuat puluhan anak muda gerah. Mereka menghendaki kepastian. Tak berselang lama, Walikota Syamsir dan Direktur Soni datang. Sejumlah tuntutan disampaikan. Intinya tak hanya peningkatan status Ternate dari kota adminitratif menjadi kota madya tetapi juga pembentukan propinsi baru lepas dari Maluku. Soni mencatat dengan serius untuk dilaporkan setibanya di Jakarta. Ia tak bisa memberi jawaban pasti. Di ujung pertemuan, Hasyim Abdul Karim yang didampingi Sofyan Daud, Zainuddin Abdulah, Arsyad Sangaji, Anwar Ways, Ibrahim Arifin, Hasby Yusuf dan beberapa sejawat tetiba berdiri. Aktifis HMI Ternate ini tanpa permisi melantangkan sebuah deklarasi. Soni terhenyak. Walikota Syamsir didampingi kepala Kesbang Fahri Ammarie terdiam.
Proklamasi….
Kami rakyat Moloku Kie Raha dengan ini menyatakan terbentuknya propinsi Moloku Kie Raha. Hal-hal yang berkaitan dengan pemindahan pemerintahan diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Gamalama, Desember 1998.
Hasyim yang saya temui di sela persiapan malam refleksi 23 tahun propinsi Maluku Utara bertutur ulang kisah ini dengan netra berbinar. Ada jejak heroisme yang tak lekang dilindas waktu. Ia ingat betul bagaimana perjuangan itu bermula dari diskusi-diskusi di banyak tempat. Anak-anak muda bergairah. Di jalanan, mereka disatukan kehendak bersama. Tak ada kata mundur. Paradigma gerakan terus bertransformasi. Semula tuntutan propinsi baru sebatas teriakan demonstratif. Belakangan aksi mulai terpolarisasi. Menurut Hasyim, Syaiful Bahri Ruray yang menawarkan jalan baru ; kalo cuma di jalan-jalan, (propinsi) tak akan jadi. Harus pakai mekanisme ketatanegaraan.
Rapat lebih serius dilakukan di sekretariat HMI Ternate yang terletak di bilangan Siko, tepat di depan markas Batalyon 732 Banau. Ada dua bahasan penting. Pertama ; fokus gerakan diarahkan ke gedung wakil rakyat. Agar daya tekannya berdampak masif dan mudah dievaluasi, perlu disusun pokok-pokok pikiran terkait tuntutan pembentukan propinsi Maluku Utara. Diskusi makin intens. Semua berbagi peran. Menurut Ketua HMI Cabang Ternate, Ajijudin Amin, loby-loby politik di lakukan agar gerakan memiliki kesepahaman sejak awal. Tak ada dusta. Juga pengingkaran. HMI Ternate sebelumnya telah menggelar seminar terkait gagasan propinsi baru di Gedung Wanita Ternate sebagai bagian dari rangkaian peringatan Sumpah Pemuda. “Indonesia baru dalam pandangan HMI adalah termasuk memberikan hak otonomi kepada tiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri”.



Tinggalkan Balasan