Oleh: Misbahuddin

_______

CATATAN ini adalah hasil pengalaman saya mengikuti sebuah ritual tradisional 4 hari lalu. Ritual dalam sistem religi masyarakat setempat ini dinamakan Salaijin. Sepintas, sepertinya ritus ini merupakan salah satu hasil akulturasi antara Islam dan budaya lokal.

Ritual adat ini dilaksanakan di sebuah kelurahan bernama Dufa-Dufa, Ternate, Maluku Utara. Bisa dibilang tempat kegiatannya cukup dekat dengan kampus tempat saya mengajar. Hampir setiap hari saya berlalulalang di beberapa bagian jalur/jalanannya.

Sebenarnya, siang itu (sekitar pukul 10.30 WIT) saya tidak sengaja melintasi jalan yang berada dekat dengan pelaksanaan ritual. Arahnya pun berlawanan dengan jalur menuju kontrakan saya. Hari itu saya sedang cari aman dari keberadaan Polantas yang kerap nongkrong di pertigaan jalan ke bandara, maklum lupa pakai helm.

Saat melintas, saya melihat ada kerumunan dan jalanan yang diblokir oleh warga, situasi itu membuat saya penasaran dan ingin mencari tahu. Ditambah lagi–dari tempat pemberhentian saya–suara tabuhan gendang, dentum gong, dan lantunan lirik lagu tradisional begitu jelas terdengar. Naluri meneliti tetiba hadir, hingga dalam hati bergumam “Ini dia data awalnya, ada audio namun tanpa visualisasi”. Hal ini tentu menjadi “sesuatu” yang membuat saya merasa harus bergerak dan mencari informasi.

Setelah memarkir si Marco (tunggangan saya), tibalah saya di salah satu kumpulan pengunjung dan berusaha untuk bertanya.

Saya mendekat pada seorang laki-laki yang duduk di atas kendaraan, sekitar 10 meter dari pusat ritual. Sepertinya kami hampir seumuran, meleset sedikit sekitar 2-3 tahun di atas usia saya. Sebenarnya pria ini sedikit sangar, dari brewok, kumis tebal, dan tato di beberapa bagian tubuhnya, dia adalah lelaki yang cukup menakutkan. Namun apa daya, akibat suara musik pengiring ritual yang cukup nyaring, tidak memungkinkan bagi saya untuk bertanya pada orang lain lagi. Dia adalah yang terdekat dari tempat saya memarkirkan kendaraan.