Oleh: Asghar Saleh
______
ANDAI Allah tak menguji iman Nabi Ibrahim dengan memintanya untuk menyembelih Ismail, putranya semata wayangnya bersama Siti Hajar, apakah kita akan melakoni ritual berkurban seperti saat ini?.
Dalam Alquran sebenarnya banyak kejadian atau perintah yang diberikan Allah untuk menguji kadar keimanan hamba-Nya, tetapi kita tak pernah bertanya mengapa momen “pengorbanan” Ibrahim dan Ismail yang terpilih. Menurut saya, karena peristiwa ini adalah realitas yang sangat menyentuh dimensi kemanusiaan. Allah memberi contoh yang nyata. Bukan sesuatu yang gaib. Bukan juga ritual yang “enigmatis” seperti perintah berpuasa dalam bulan Ramadhan. Enigmatis di sini karena Allah memberi batas yang banal jika ibadah itu adalah milik-Nya. “Puasa untuk-Ku”. Meski ratingnya sangat tinggi tetapi kita bahkan tak tahu nilai yang kita peroleh selain keyakinan bahwa Allah akan menilai dengan semua otoritas absolut yang dimiliki-Nya. Ada dimensi illahiyah yang tak terbantahkan. Berpuasa itu sesuatu yang personal.
Berbeda dengan perintah berkurban. Ada dimensi sosial yang ingin diuji. Apakah kita lebih terpesona dengan nikmat duniawi -harta, tahta, anak, kekuasaan- dan melupakan jika hidup bukan semata tentang kenikmatan tanpa batas. Apakah hati kita telah bebas dari prasangka dan kebencian. Memiliki kesalihan sosial yang transendental. Apakah kita selalu siap untuk “pulang” kapan saja. Kematian hendaklah ditafsirkan bukan sebagai lawan dari kehidupan melainkan “semacam koma” untuk kelanjutannya, karena di ujung yang kudus, ada Tuhan yang menunggu untuk bertanya. Apa yang kita lakukan selama ada di dunia. Berapa banyak kita mengingat-Nya dalam syukur. Berapa kali kita melanggar perintah-Nya secara sengaja. Jangan-jangan kita tak sekadar melupakan tapi berusaha menggantikan posisi Tuhan dalam keseharian. Karen Amstrong dalam “A History Of God” merisaukan munculnya fenomena Tuhan-selfie. Kita kebanyakan menghadirkan Tuhan sebagai cermin diri yang serba fana.
Tuhan menurut Amstrong diposisikan sebagai “menyukai apa yang kita suka dan membenci yang kita benci”. Tuhan boleh dikata adalah perpanjangan identitas kita, ketakutan, rasa curiga dan juga narsisme kita. Di situlah kita mulai tersesat. “Satu-satunya cara menunjukan rasa hormat kepada Tuhan adalah dengan berbuat baik secara moral tanpa memperdulikan apakah Dia ada”, kata Amstrong.
Amstrong mungkin bermaksud baik dengan ajakan untuk berbuat baik, tetapi kepongahan sebagai homo sapiens yang merasa paling benar menghadang dengan sengit ajakan itu. Kita jadi otoriter melebihi kuasa Tuhan. Kita memuja agama tetapi meninggalkan Tuhan dalam ruang yang tak bisa dijangkau. Makin lepas kontrol saat kemajuan teknologi meninggikan ego. Dulu, “truth claim” dan “salvation claim” diperdebatkan saat orang merasa paling benar dan keyakinannya paling bisa menyelamatkan. Dalam sejarah agama-agama di dunia, saling klaim tentang yang benar dan yang menyelamatkan itu sangat sering terjadi antara agama-agama samawi.
Tinggalkan Balasan