Tandaseru — Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Ternate, Maluku Utara, menggandeng stakeholders untuk mendorong ekspor langsung dari Malut. Dengan begitu para petani atau pelaku usaha tidak lagi bergantung ke tengkulak atau pedagang perantara.

Kepala KPPBC Shinta Dewi Arini menyatakan ekspor Malut sejauh ini didominasi produksi pertambangan, sedangkan ekspor non tambang seperti komoditas pertanian dan perikanan belum terlalu signifikan. Salah satu penyebabnya yaitu penjualan hasil panen nelayan dan petani masih bergantung pada tengkulak atau pedagang perantara dari Surabaya ataupun Makassar.

“Pengusaha perikanan dan pertanian bisa bertemu langsung dengan buyer (pembeli-pengusaha lokal berbadan hukum), bukan lagi tengkulak, sehingga dokumen ekspor putus di Ternate,” ujar Shinta, Rabu (9/2).

Ia mencontohkan, petani kopra misalnya lebih cenderung menginginkan keuntungan yang cepat, sehingga tengkulak atau pedagang perantara menjadi solusi jual beli produk yang dihasilkan.

Hal ini tentu akan berpengaruh pada kuantitas ekspor langsung dari Malut. Bila devisa ekspor tercatat lebih banyak dari Ternate dan Malut pada umumnya otomatis devisa yang dikembalikan ke daerah pun masuknya lebih besar.

“Butuh kerja sama dari pemerintah kabupaten/kota hingga provinsi untuk memutus mata rantai tengkulak ini,” ujarnya.

Sementara Plt.m Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara Abdullah Assagaf mengatakan, ekspor komoditas perikanan langsung dari Malut sudah dilakukan sejak tahun 2017, namun sebagian besar masih transit ke Surabaya atau Jakarta.

“Kami berharap nanti komoditas perikanan bisa diekspor langsung ke negara tujuan, paling tidak ke negara terdekat seperti Singapura. Selaku pemerintah daerah, tugas kami salah satunya berkoordinasi dengan penerbangan dan lainnya agar bisa melakukan ekspor langsung,” pungkasnya.