Tandaseru — Penerbitan 13 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Maluku Utara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berbuntut panjang. Pasalnya, PT Diva Mega Sakti (DMS) selaku salah satu badan usaha yang izinnya tak tembus ke Kementerian melayangkan surat protes ke Gubernur Abdul Gani Kasuba.
Dalam suratnya, manajemen PT DMS meminta Gubernur membuat usulan pembatalan IUP PT Harum Cendana Abadi (HCA) ke pemerintah pusat. PT DMS mengklaim IUP PT HCA berada di atas lokasi DMS di Halmahera Timur.
Surat PT DMS tersebut mendapat sorotan akademisi Universitas Khairun, Almun Madi. Dosen Teknik Pertambangan itu menyatakan keberatan PT DMS tersebut merupakan buntut panjang dari penerbitan 13 IUP.
“Mungkin saja mereka (DMS, red) lalai dalam tertib dokumen tambang, sehingga mereka tidak diikutkan dalam daftar 13 IUP yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, yang sekarang kontroversial. Sehingga kemungkinan ada unsur kekecewaan perusahaan kepada pemerintah provinsi. Kalau saja mereka terdaftar, mereka juga diam itu,” ungkap Almun dalam siaran persnya, Selasa (8/2).
Menurut Almun, ada kemungkinan PT DMS juga memiliki bekingan oknum-oknum tertentu di lingkungan Pemprov Malut, sehingga perusahaan berani menyurat ke Gubernur meminta usulan pembatalan IUP PT HCA.
“Jadi ini bukti Pemprov tidak satu arah. Seharusnya mereka solid dalam menanggapi masalah 13 IUP ini sehingga tidak bias,” jelasnya.
“Saya menilai kegaduhan 13 IUP ini juga terlalu dilebih-lebihkan, karena kasus ini beda dengan 27 IUP (bermasalah) kemarin. Karena saat itu kewenangan masih di provinsi dan kabupaten/kota, sementara sekarang 13 IUP ini kan di pempus dalam hal ini Kementerian ESDM. Jadi apa gunanya memarahi Gubernur dan dinas terkait dalam hal ini Dinas ESDM dan PTSP?” kata Almun mempertanyakan.
Ia memaparkan, dalam hal penerbitan IUP, kewenangan Pemprov terbatas. Pemprov Malut hanya bertugas memverifikasi, meminta pandangan hukum, dan meneliti dokumen perusahaan tambang. Selanjutnya menerbitkan surat pengantar dan mengantarkan dokumen-dokumen IUP ke Kementerian.
“Kalau prosedur itu dilalui oleh Pemprov, ya tidak ada masalah itu. Sekarang ada tuduhan ikhwal prosedural atau tidak, tetapi kan masalahnya Kementerian sudah menerbitkan,” ujar Almun.
“Kalau kita telaah kasus ini lebih jauh, ada kemungkinan IUP-IUP ini diterbitkan pada masa kewenangan masih kabupaten/kota. Lalu peralihan ke Pemprov dan ada kebijakan Clean and Clear (CnC) yang berjalan hingga 2014. Mungkin saja PT Diva tidak masuk, Nah, sekarang karena ada perubahan regulasi (UU Minerba), Kementerian menertibkan dokumen IUP dengan basis data online MODI dan MOMI. Jadi kalau tidak lengkap ya pasti tidak terdaftar di MODI. Jangan-jangan PT Diva bernasib demikian dibandingkan 13 IUP (yang diterbitkan) itu,” imbuhnya.
Almun menambahkan, jika memperhatikan sebaran peta IUP di Malut, titik koordinat peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan IUP PT DMS kemungkinan belum ada persetujuan, yang ada hanyalah peta yang bersifat informatif.
“Jika demikian maka belum lengkap dokumennya. Dan kalau mereka keberatan, seharusnya mereka menempuh jalur PTUN, bukan menuduh Gubernur yang bukan kewenangannya menerbitkan atau membatalkan IUP, lucu itu. Sebagai bagian dari publik, kita berharap kasus 13 IUP ini jangan hanya dilihat dari satu sisi, harus ditelaah dengan baik. Sebab ini rezim pempus, bukan daerah. Kenapa kita ribut di daerah? Lucu ini. Saya berharap Pemprov juga solid dan mampu merasionalkan publik ikhwal perubahan-perubahan regulasi terkini di sektor minerba agar jangan gaduh,” tandas Almun.
Tinggalkan Balasan