“Jadi bukan memaknai untuk menghapuskan dan menghilangkan. Kalau semisalnya dengan situasi Covid-19 maka normanya bukan menghilangkan atau menghapuskan, tapi menyesuaikan,” urainya.

Penyesuaian itu, sambungnya, berdasarkan kemampuan keuangan daerah dengan klasifikasi tinggi, sedang maupun rendah.

“Bukan meniadakan. Itu keliru,” tukas Irwan.

Ia pun mengingatkan Sekda soal PP 18/2017 yang memiliki asas mutatis dan mutandis.

”Artinya bahwa norma yang diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 itu narasinya tidak bisa diubah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD,” imbuhnya.

Senada, Fadli Djaguna menyatakan jika Pemerintah Daerah menghilangkan biaya tranportasi berarti pimpinan dan anggota tidak diwajibkan berkantor lagi.

“Jadi Pemda harus jeli dalam memaknai. Karena itu, saya tegaskan kepada Pemerintah Daerah melalui Sekda tidak main-main dalam memahami PP 18/2017,” tekannya.

Ketua Formatur Partai Amanat Nasional Morotai ini juga meminta agar Pemda berkonsultasi dengan lembaga DPRD terlebih dulu dan tidak langsung menghapus hak DPRD.

“Karena poin paling fundamental adalah Sekda ketika memberikan pernyataan disesuaikan dengan keuangan daerah. Apakah daerah sudah kolaps dengan kondisi keuangan sekarang ini?” katanya mempertanyakan.

“Saat ini belanja infrastruktur kita itu melambung tinggi dari kabupaten/kota lainnya. Di antaranya belanja fisik, kemudian pinjaman PEN Rp 200 miliar itu difokuskan semua ke fisik. Kalau alasan dalil Pemda bilang karena sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, kira-kira keuangan daerah mana yang kolaps atau butuh penyesuaian? Karena kita di DPRD sedang mencari titik fokus kira-kira apa sih kendalanya Pemerintah Daerah sehingga kita berutang banyak di luar tapi masih defisit,” tandas Fadli.