Tandaseru — Kepala Dinas Perhubungan Kepulauan Sula, Maluku Utara A. Yasin Hayatuddin angkat bicara soal pembangunan tambatan perahu di tiga desa yang tak lagi difungsikan. Tiga tambatan perahu tersebut terletak di Dusun Wainanas Desa Wailoba, Desa Leko Sula dan Desa Leko Kadai.
Yasin kepada tandaseru.com mengungkapkan, penempatan tambatan perahu di Dusun Wainanas lantaran jumlah produksi kopra di situ cukup tinggi. Alhasil Dinas Perhubungan membangun tambatan perahu untuk kepentingan pemuatan.
Akan tetapi, dari aspek penempatan lebih lanjut tambatan perahu itu mulai jarang digunakan.
“Itu kan jarang digunakan, karena itu mungkin tiga sampai empat bulan baru kapal itu dia masuk. Terus dia agak jauh dari permukiman masyarakat. Karena memang lokasi yang tepat hanya di situ,” ungkap Yasin, Kamis (15/10).
Sebelum membangun, kata Yasin, Dishub sudah melakukan survei lokasi. Saat evaluasi mengapa tambatan jarang digunakan, ternyata aspek jarak dari permukiman warga yang cukup jauh yang menjadi alasan.
“Waktu saya turun survei kembali, saya evaluasi. Mungkin di Wainanas itu tidak lagi gunakan karena aspek jarak, sehingga tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat,” sambungnya.
Sedangkan tambatan di Leko Sula dan Leko Kadai, menurut Yasin tak digunakan lantaran faktor alam. Di mana terjadi sedimentasi yang mengakibatkan peningkatan terumbu karang tak jauh dari tambatan perahu di dua desa tersebut. Akibatnya, kapal tidak bisa masuk saat air laut surut karena khawatir kandas.
“Sebenarnya tambatan perahu tidak perlu perencanaan yang terlalu matang. Yang kedua, konektivitas lintas jarak cukup tinggi antara Desa Falabisahaya sampai di Desa Pelita. Jadi orang lebih banyak menggunakan transportasi darat, sehingga sarana-prasarana laut juga berkurang,” terang Yasin.
Dia menambahkan, pada perencanaan ke depan, jika jalan penghubung dari Desa Waisakai, Kecamatan Mangoli Utara Timur hingga Desa Waitulia, Kecamatan Mangoli Tengah sudah bagus, maka simpul transportasi bisa terkoneksi lewat Desa Waitulia.
Di sisi lain, Yasin menjelaskan, kondisi alam di Sula saat ini berada pada bentangan timur dengan ketinggian ombak cukup tinggi. Begitu pula bentangan bagian selatan, sehingga tidak memungkinkan pelabuhan berada di tiga desa tersebut.
“Cocok pelabuhan itu ada di Desa Waitulia,” ujarnya.
Meski begitu, di Waitulia sendiri perlu dihitung sedimentasi terumbu karang setiap tahun bisa naik berapa.
“Itu memungkinkan kita harus lakukan penggarukan, tapi itu juga bertentangan dengan aturan,” tandasnya.
Tak hanya Desa Waitulia, Yasin menyebutkan Desa Boruakol juga layak ditempatkan pelabuhan. Namun jarak dari permukiman juga cukup jauh. Akan tapi, pada hitungan jangka panjang sangat memungkinkan, karena olah gerak kapal dan divisibilitas memungkinkan di lokasi tersebut.
“Tapi di Desa Boruakol itu kita baru lihat secara kasat mata, belum menggunakan peta sounder laut. Untuk meletakkan infrastruktur laut itu butuh sounder kelautan untuk menentukan peta-peta metrik, layak atau tidak olah gerak,” terang Yasin.
Yasin juga mengaku, kerugian negara yang ditimbulkan dalam proyek pembangunan tiga tambatan perahu tersebut telah dikembalikan ke kas daerah.
Sekadara diketahui, pembangunan tambatan perahu di Wainanas menelan anggaran Rp 900 juta lebih dari APBD Kepsul. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI perwakilan Maluku Utara Nomor 16.C/LHP/XIX.TER/5/2018 tertanggal 21 Mei 2018, dalam proyek tersebut terdapat kerugian negara sebesar Rp 122 juta lebih.
Tambatan perahu di Desa Leko Sula dengan nilai kontrak Rp 1 miliar lebih kerugian negaranya sebesar Rp 172 juta lebih. Sedangkan tambatan perahu di Desa Leko Kadai dengan nilai kontrak Rp 1 miliar lebih kerugian negaranya Rp 147 juta lebih.
Inspektur Inspektorat Kepulauan Sula Kamal Umasangadji saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Senin (19/10) membenarkan bahwa temuan pada tiga paket proyek tambatan perahu tersebut sudah dikembalikan pada tahun 2019 lalu.
“Itu semua sudah ada diselesaikan, semua sudah lunas tahun 2019,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan