Tandaseru — Sidang paripurna DPRD Kota Tidore Kepulauan dengan agenda penyampaian Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPP) APBD 2019, Kamis (30/7), diwarnai penolakan.
Dari lima fraksi di DPRD Tikep, empat diantaranya menyatakan sikap menolak Ranperda yang disampaikan Pemerintah Kota Tikep.
Keempat fraksi yang menolak adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Nasdem, Fraksi Demokrat Sejahtera, serta Fraksi Partai Amanat Nasional. Praktis, hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menerima Ranperda tersebut disahkan.
Pantauan tandaseru.com, paripurna sempat berjalan alot dan tegang setelah pendapat akhir fraksi selesai dibacakan. Sebab usai penolakan dilanjutkan dengan voting yang disaksikan langsung Wali Kota Capt. Ali Ibrahim. Hasil voting, dari 23 wakil rakyat yang hadir hanya 7 yang menerima LPP tersebut, sedangkan 16 sisanya sepakat menolak.
Fraksi PKB dalam pendapat akhirnya yang dibacakan Murad Polisiri mengatakan, setelah mendengar jawaban Wali Kota atas pandangan umum fraksi-fraksi, DPRD langsung membentuk Panitia Khusus (Pansus) LPP APBD tahun anggaran 2019. Ketika Pansus telah terbentuk, lanjut Murad, DPRD kemudian memanggil masing-masing OPD secara bergilir kurang lebih 2 pekan untuk membahas LPP APBD 2019.
Pada rapat-rapat tersebut Pansus mempertanyakan banyak hal terkait perencanaan sampai pada realisasi anggaran di setiap program dan kegiatan oleh masing-masing OPD.
“Dari pertemuan-pertemuan tersebut akhirnya terungkap begitu banyak fakta bahwa adanya program dan kegiatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh OPD-OPD bahkan tidak diketahui sumber pembiayaannya,” tegas Ketua PKB Tikep itu.
Menurut Murad, berdasarkan pendalaman terhadap LPP Wali Kota tahun 2019 dan memperhatikan hasil pembahasan Pansus DPRD terhadap LPP, F-PKB merumuskan beberapa catatan strategis dan rekomendasi diantaranya soal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tikep. Dimana PDRB setiap tahun dilaporkan mengalami peningkatan, dengan posisi PDRB 2019 6,2%.
“Seiring dengan peningkatan PDRB tersebut seharusnya angka kemiskinan secara otomatis mengalami penurunan. Akan tetapi, data jumlah kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Tikep yang dirilis pada tahun 2020 mengungkapkan fakta berbeda. Data BPS menyebutkan angka kemiskinan di Kota Tidore Kepulauan pada tahun 2016 sebesar 5,07 persen atau (4.979 jiwa), sementara pada tahun 2017 mengalami kenaikan 5.45 persen atau (5.414 jiwa), tahun 2018 juga naik menjadi 5.95 persen atau (5.975 jiwa), dan pada tahun 2019 angka kemiskinan bertambah signifikan sampai pada angka 6.1 persen atau (6.186 jiwa). Dengan demikian maka tidak ada korelasi antara posisi PDRB dan angka kemiskinan di Kota Tidore Kepulauan,” jelasnya.
F-PKB juga menyoroti perjalanan dinas dalam dan luar daerah Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2019, dimana SPPD dalam daerah Wali Kota dianggarkan sebesar Rp 550 juta sedangkan Wakil Wali Kota senilai Rp 750 juta. Pada anggaran Perubahan SPPD Wali Kota ditambah Rp 350 juta sedangkan Wakil Wali Kota Rp 200 juta. Totalnya, perjalanan dalam daerah Wali Kota Rp 900 juta dan Wakil Wali Kota Rp 950 juta.
“Sementara pada laporan realisasi Wali Kota menghabiskan biaya perjalanan dalam daerah sebesar Rp 603.705.000 sedangkan Wakil Wali Kota Rp 732.604.000. Data tersebut menunjukkan bahwa anggaran perjalanan dinas dalam daerah Wakil Wali Kota di-plotting lebih besar dari Wali Kota. Padahal dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sangat jelas menjelaskan tugas, wewenang dan hak keuangan wali kota dan wakil wali kota. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang wakil wali kota memiliki biaya perjalanan dinas lebih besar dari seorang wali kota padahal tugas dan keuangan wali kota lebih besar daripada wakil wali kota,” sebut Murad.
Tinggalkan Balasan