Tandaseru — Manajemen PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) memberikan penjelasan soal polemik pembayaran lahan yang diberikan pada warga Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur.

Saat dikonfirmasi tandaseru.com, Jumat (10/7), Associate Director Media and Public Relations PT IWIP, Agnes Ide Megawati mengungkapkan, yang dimaksudkan dengan pembayaran lahan oleh perwakilan PT IWIP dalam rapat bersama Pemerintah Kabupaten Haltim, Kamis (9/7), bukanlah pembayaran lahan dalam artian perusahaan membeli lahan milik warga.

“Sebab lahan tersebut adalah milik negara dan tidak bisa diperjualbelikan,” ungkap Agnes.

Agnes bilang, perusahaan, dalam hal ini PT Weda Bay Nickel (WBN) selaku salah satu tenant PT IWIP, memang memberikan uang senilai Rp 2 miliar untuk warga Wasile Selatan. Namun pemberian uang tersebut adalah “tali asih” untuk warga sekitar sebagai wujud kewajiban perusahaan karena menggunakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

“Jadi WBN melakukan kegiatan operasional produksi di wilayah tersebut dengan IPPKH yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan memperoleh IPPKH ini, WBN memiliki sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi. Namun lahan ini tidak bisa dibeli ya oleh WBN,” terangnya.

“Adapun IWIP tidak bisa bertransaksi apapun perihal lahan untuk pertambangan, karena sekali lagi IWIP adalah pengembang kawasan industri, bukan perusahaan tambang. Karena WBN tenant di IWIP, external relation communications staff IWIP yang bantu komunikasikan,” sambung Agnes.

Menurut Agnes, “tali asih” yang diberikan kepada warga biasanya ditindaklanjuti dalam wujud program corporate social responsibility (CSR). Sedangkan lahan yang menjadi lokasi operasional WBN merupakan hutan negara yang terletak di wilayah bernama Kao Rahai.

“Tidak ada tanaman warga di lahan tersebut. Sebenarnya juga jauh dari pemukiman penduduk, tetapi secara administratif masuk wilayah Wasile Selatan,” tuturnya.

Dia menambahkan, meski lahan tersebut milik negara dan jauh dari pemukiman, WBN tetap memberikan “tali asih” kepada warga Wasile Selatan.

“Perlu diperhatikan lahan tersebut milik negara, tidak bisa diperjualbelikan. Adapun perusahaan juga melakukan pembayaran retribusi dan lain-lain kepada negara, seperti yang disebutkan dalam kewajiban pemegang IPPKH,” jabar Agnes.

Terkait tuntutan warga agar perusahaan “melunasi pembayaran lahan” alias menambah “tali asih” yang semula sudah diberikan sebesar Rp 2 miliar, Agnes bilang hal tersebut akan disampaikan ke Manajemen WBN.

“Aspirasi ini kami sampaikan kepada Manajemen,” pungkas Agnes.

Sekadar diketahui, perusahaan pemegang IPPKH memiliki sejumlah kewajiban diantaranya melaksanakan tata batas kawasan hutan yang disetujui dengan supervisi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan; membuat surat pernyataan bermeterai cukup yang memuat kesanggupan melaksanakan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan, melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan, memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah, memenuhi kewajiban keuangan sesuai peraturan perundang-undangan, meliputi membayar penggantian nilai tegakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR), membayar ganti rugi nilai tegakan kepada Pemerintah apabila areal yang dimohon merupakan areal reboisasi, mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan dalam hal areal yang dimohon berada pada areal kerja izin pemanfaatan hutan/pengelolaan, kewajiban keuangan lainnya akibat diterbitkan IPPKH, melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai untuk persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang terletak pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30 persen dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi.

Selain itu, menyampaikan peta lokasi rencana penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dalam hal kompensasi berupa penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai.

Bagi persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang terletak pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30 persen dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/atau provinsi, selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure) untuk ditunjuk menjadi kawasan hutan dengan ratio 1:1; melaksanakan pengukuran lahan kompensasi dan dipetakan sesuai dengan kaidah pemetaan; membuat pernyataan dalam bentuk akta notariil yang memuat bertanggung jawab apabila pada saat pelaksanaan tata batas di lapangan terdapat permasalahan teknis dan hukum; serta menyerahkan lahan kompensasi dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Lahan Kompensasi.