Oleh: Safruddin Abas

Orang Biasa yang Gemari Hal-hal Luar Biasa

 

NGOMEL(ngomong melulu), kata yang tidak asing lagi di telinga setiap orang. “Ngomel” merupakan perwujudan perilaku yang disebabkan oleh respon seseorang atas ketidaknyamanan suatu fenomena yang terjadi di luar dirinya.

Sebelum lanjut, saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah kopi, yang diracik dari 50% pahitnya omelan dan 50% manisnya tulisan? Hehehe.

Kembali lagi, perihal “ngomel” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ngomel” yang kata dasarnya adalah omel; mengomeli/mengomel/omelan memiliki makna yang identik, yaitu marah yang banyak mengeluarkan kata-kata, memarahi, menggerutu, menggusari, dan perkataan yang berupa tidak atau kurang senang. Sedangkan, orang yang sering “ngomel” disebut pengomel, yaitu orang yang suka menggerutu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan beragam gejala psikologi yang tervisualisasikan melalui ekspresi dan perilaku manusia. Baik ekspresi bahagia, senang, gembira, suka cita, bahkan sampai pada kengiluan akibat duka yang paling nestapa. Gejala semacam ini sering ditemukan di lingkungan kita, melalui teman sejawat, saudara, kolega atau bahkan diri kita sendiri sebagai objek sekaligus subjek yang memiliki perasaan senang, gembira, bahagia, susah, gelisah dan seterusnya.

Ngomel” sering disebabkan oleh ketidakpenuhan hasrat seseorang atas sesuatu yang ingin dicapainya, atau impian yang tidak bersesuaian dengan kenyataan. Akibat ketidaksesuaian antara sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang terjadi setelahnya, rentan menimbulkan kecemasan (anxiety). Kecemasan-kecemasan yang membuncah tanpa ada jurus penenang, membuat seseorang mudah terpapar virus “ngomel” yang jika tidak mampu mengendalikannya, maka dapat merusak sistem nalar dan menukiknya kecerdasan intelektual.

Gejala kecemasan adalah hal lazim dan manusiawi. Manusia yang merasa cemas adalah suatu kenormalan, namun tidak berarti kenormalan itu tidak perlu mendapatkan perhatian seseorang. Karena kecemasan yang tidak terkontrol dan terkendalikan, membuat seseorang bertindak melampaui batas. Suka marah-marah, berbicara yang tidak tentu arah, ngawur dan menyebabkan suasana emosi menjadi kronis dan kompleks. Dengan demikian, situasi mental menjadi terganggu, merasa khawatir dan takut secara berlebihan.

Akhir-akhir ini, kecemasan dan ketakutan menghantam kita, membuat nalar kritis seakan terjun bebas. Fenomena ini perlahan menimbulkan krisis dan kekacauan kehidupan global dari segala sektor, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Krisis yang disinyalir diakibatkan oleh ketegangan persaingan ekonomi politik dunia, modifikasi teknologi dan informasi yang tidak ramah, serta gempuran wabah penyakit, membuat orang-orang seantero bumi mengalami gejala psikologi yang tidak biasa. Ketakutan, stres, depresi hingga stabilitas ekonomi yang berada di ujung resesi, kian menaikkan intensitas kecemasan hingga “baku marah”, terlihat mewarnai ratio publik.

Kemarahan muncul sering bersamaan dengan perilaku. Umumnya, seseorang marah karena merasa dirinya diganggu, dikhianati, terpojokkan, tidak dihargai atau dihadapkan dengan perlakuan-perlakuan yang menyinggung kepribadiannya. Karena ketersinggungan, merasa dikhianati, dan lain-lain, membuat seseorang bertindak nekat, mencaci maki, “ngomel sana ngomel sini”, menghina, bahkan bisa menyerang orang lain secara fisik maupun psikis.

Oleh karenanya, dengan alasan apapun, kemarahan adalah tanda bagi seseorang yang tidak mampu mengendalikan dirinya. Kemarahan adalah tanda melemahnya pikiran serta ketidakruntutan berpikir seseorang menyelesaikan suatu masalah hingga dia terjebak dan memposisikan kemarahan sebagai penguasa atas dirinya.

Demi mengantisipasi dampak negatif dari marah, seseorang perlu memfungsikan logikanya sebagai neraca dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan, sikap atau keputusan-keputusan yang dibuatnya. Karena proses kognitif yang menjaga rasionalitas, menjaga perspektif dari kemasukakalan, seseorang mampu mengelola agresifitas pikirannya. Selain itu, kecerdasan emosional dan spiritual adalah sarana paling penting dan efektif untuk menangkal gempuran ketidaknyamanan yang bisa menimbulkan gejala kejiwaan yang tidak wajar.

Sebagaimana Indah Wigati dalam Teori Kompensasi Marah dalam Perspektif Psikologi Islam, mengungkapkan bahwa “kemarahanan akan membinasakan hati dan kebijaksanaan. Barang siapa yang tidak menguasainnya, maka dia tidak akan mampu mengendalikan pikirannya.”

Ada orang yang mudah tersulut oleh amarah, pun sebaliknya, ada orang yang mampu mengendalikan amarahnya ketika dia berada pada situasi tidak menyenangkan. Namun, dalam terma apa pun, apakah perilaku yang menonjolkan sikap emosi marah atas sesuatu di bolehkan? Ketika seseorang merasa tidak nyaman, apakah emosi marah adalah solusinya? Ataukah dengan pelampiasan kemarahan, masalah yang didera bisa terselesaikan? Saya pikir tidak, Ferguso… heheheh….

Bersambung…..