Oleh: Ahmad Yani Abdurrahman
_______
DALAM beberapa tahun terakhir ini di setiap pembahasan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban Kepala Daerah Kota Ternate realisasi Pendapatan Asli Daerah atau PAD menjadi sorotan. Penyebabnya realisasi PAD selalu gagal mencapai target APBD. Beragam reaksi bermunculan, tak ketingglan politisi di “Kalumata Puncak”, akademisi dan stakeholder lainnya turut berkomentar, mengkritik kinerja Pemerintah Kota Ternate terutama organisasi perangkat daerah, OPD pengelola PAD.
Alasanya sederhana, geliat aktivitas ekonomi Ternate sebagai kota jasa dan perdagangan tumbuh dan berkembang pesat sudah pasti menyimpan potensi PAD yang menjanjikan. Di sisi lain minimnya potensi sumber daya alam Kota Ternate dipastikan tidak berdampak signifikan terhadap PAD. Dengan demikian pundi-pundi PAD dari sektor jasa dan perdagangan harus dioptimalkan, dikelola dengan baik dan benar sehingga berkontribusi pada APBD. Paling tidak PAD dapat menopang APBD, membiayai kebutuhan pembangunan di tengah gencaran efisiensi sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang mengakibatkan berkurangnya kucuran dana transfer dari Pemerintah Pusat.
Pajak Bumi dan Bangunan, PBB, adalah satu satu jenis pajak daerah poensial. Obyek dan subyeknya paling banyak di antaranya jenis pajak lainnya namun kompleksitas permasalahannya juga paling banyak. Pasca penyerahan PBB sebagai Pajak Daerah sesuai UU Nomor 28 tahun 2009 tentang PD & RD, hampir seluruh daerah di Indonesia dihadapkan pada problem yang sama. Mengelola PBB saat itu ibarat mengurai benang kusut. Persoalan data wajib dan obyek pajak yang amburadul, citra petugas pajak, kesadaran masyarakat, piutang pajak, penggunaan IT termasuk lemahnya SDM pengelola PBB adalah deretan masalah klasik yang dihadapi pemerintah daerah. Banyak daerah berhasil melewati masa transisi dan kini PBB sudah jadi primadoan PAD, tapi ada juga daerah yang masih berkutat pada masalah dimaksud, Kota Ternate termasuk salah satunya.
Data Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah, BP2RD Kota Ternate merincikan di Kota Ternate Tahun 2022 terdapat 46.685 obyek pajak, tahun 2023 terdapat 47.519 op dan tahun 2024 naik menjadi 48.056 OP. Sementara di sisi lain realisasi PBB dalam tiga tahun masih bersifat fluktuatif. Tahun 2022 target Rp 6,5 M namun realisasinya Rp 5,7, tahun 2023 target Rp 8,5 M realisasi Rp 7,9 M dan tahun 2024 target 12 M realisasi Rp 7,5 M. Sepintas data tersebut membuktikan bertambahnya OP belum berbanding lurus dengan realisasi penerimaan, artinya dalam pengelolaan PBB masih dijumpai masalah yang mesti dikaji lagi atau apa penyebab dan bagaimana solusinya.
Berbicara pengelolaan PAD tentunya tidak sebatas wacana, soal capai target, apalagi sekadar retorika dan kritikan meskipun itu wajar dan biasa. Sama halnya dengan PBB, mestinya dipahami substansi permasalahan bukan melihat hasil akhirnya. Ibarat menyantap makan lezat di restoran orang bertanya apa resep, racikan bumbu, cara masak, kehalalannya dan lebih penting siapa chef termasuk komitmen owner. Satu hal terkadang luput atau diabaikan dalam pengelolaan PBB adalah sumber daya manusianya atau SDM. Padahal SDM merupakan faktor kunci dalam menggerakkan roda organisasi mulai tahapan perencanaan hingga menentukan mekanisme pengawasan. Artinya dengan SDM yang memiliki kompentensi, profesionalitas, integritas, dedikasi, etos kerja termasuk disiplin yang bisa menerjemahkan visi dan misi ke dalam program dan kegiatan strategis. Persoalannya gambaran SDM dimaksud sudah dipunyai BP2RD sebagai institusi yang bertanggungjawab pengelolaan PBB.
Secara kuantitatif, SDM yang tersedia ditambah dengan petugas penagih PBB kelurahan rasionya sangat representatif untuk urusan satu jenis pajak, tapi dari aspek kualitatif masih perlu diidentifikasi apakah sudah cukup tersedia SDM yang memiliki kompentensi dan kualifikasi pengelolaan PBB, misalnya penilai PBB, juru sita, pemeriksa pajak, penyidik PPNS, operator IT termasuk penagih PBB dan sebagainya.
Jika tersedia perlu dilakukan peningkatan dan pengembangan kapasitas termasuk pengembangan karier dan penataan kebijakan kompensasi apabila belum perlu tempuh rekruitmen atau penempatan sesuai kebutuhan dengan acuan pendidikan, skill, prestasi dan integritas bukan penempatan beraroma nepotisme apalagi balas budi politis. Pengeloaan PBB juga tidak cukup dengan ketersedian SDM saja, juga dibutuhkan leadership yang inovatif, inspiratif, komunikatif serta berintegritas sehingga mampu membentuk team work yang solid.
Problem Pemungutan PBB
Secara garis besar, wajib pajak bumi dan bangunan di Kota Ternate dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan. Pertama, wajib pajak atau WP yang sadar membayar PBB. Ciri WP ini tiap tahun mendatangi kantor kelurahan atau BP2RD mengambil SPPT dan membayar PBB. Bahkan sebelum penerbitan SPPT. WP ini sudah menghubungi petugas kelurahan. WP ini memandang membayar pajak sebagai kewajiban warga negara.
Golongan kedua adalah WP yang membayar pajak karena kebutuhan. Artinya membayar karena menjadi prasyarat birokrasi, seperti urusan perizinan, agunan bank termasuk penerbitan sertifikat hak milik. Dan golongan ketiga adalah WP rendah kesadaran membayar pajak. WP golongan ini baru membayar pajak apabila didatangi petugas penagih dan sebaliknya tidak didatangi petugas maka kewajibannya menjadi tunggakan atau piutang pajak.
Dari ketiga karakteristik WP tersebut secara kuantitatif jumlah WP dengan rendah kesadaran membayar PBB cukup besar. Meskipun nilai nominal dari WP kategori ini persentasi kecil namun secara kuantitatif sangat besar jumlahnya. kategori ini merupakan potensi yang harus dioptimalkan sebab Nilai Jual Obyek Pajak nya terus mengalami perubahan pada penetapan pajak. Dengan demikian WP kategori ini harus dioptimalkan melalui kegiatan intensifikasi dengan fokus peningkatan kepatuhan, pengawasan dan penagihan serta ekstensifikasi mencakup identifikasi potensi, pemutahiran data dengan system informasi geografis (SIG) dan smart mapping digital, termasuk edukasi dan penyuluhan.
Gambaran tersebut mengindikasikan pemungutan PBB disatu sisi masih mengandalkan peran kolektor atau penagih disisi lain digitalisasi pengelolaan PBB sudah tidak bisa dihindari sebagai respon kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya peran seloktor kelurahan terus ditingkatkan kapasitas dan kompetensi, tidak sekedar sebagai penagih tetapi juga sebagai penyuluh yang bisa mengedukasi masyarakat agar patuh dan taat membayar pajak. Petugas penagih juga harus dikoordinir dalam satu rentang kendali supaya mudah digerakan, termasuk kompensasi yang adil sehingga bisa memberi motivasi yang berdampak pada peningkatan pelayanan dan kemudahan masyarakat membayar pajak. Semoga. (*)
Tinggalkan Balasan