Oleh: A. Malik Ibrahim
________
HARI ini, 2 Januari 2025. Malam pergantian tahun usai. Lembar terakhir kalender 2024 telah dirobek. Kita memasuki tahun baru dengan letih – setelah pesta, terompet, kembang api dan pekikan di jalan-jalan. Di masjid-masjid orang-orang berdoa antara pasrah dan tekad.
Bertanyalah di antara kita. Apa sih optimisme dan ekspektasi di balik gegap gempita pergantian tahun? Dalam optimisme itu, entah itu negara, daerah dan diri kita, kerap tidak terbaca dalam rentang ruang dan waktu.
Sulit diramalkan. Dan tidak ada yang pasti dalam drama kehidupan ini. Karena, satu-satunya yang pasti hanyalah penderitaan dan kematian.
Tapi kembali lagi, tahun 2025 adalah sebuah misteri. Tak ada yang pandai meraba. Bingung. Apalagi bisa meramalkan optimisme pertumbuhan dalam ketepatan analisanya. Bahasa profetisnya; orang lebih cenderung pasrah pada keadaan. Dan rasanya 2025 kita masih berkutat dengan “politik tabalai” – atmosfirnya tidak refreshed, tata kelola negara masih awut-awutan.
Rakyat merasa begitu pesimis, bahkan apatis dengan keadaan. Kemarin rakyat Indonesia berbunga-bunga ketika Prabowo terpilih jadi Presiden. Brilian pemikirannya, luas perspektif dan gagasannya. Sungguh gembira hati kita melihat ketegasannya. Sayangnya kedigjayaan beliau belum nampak alias blessing in disguise. Kata orang belum setegas pidatonya. Masih di-fato oleh sang mantan. Itulah Indonesia. Di mana rakyatnya mampu menyebunyikan rasa kecewa pada pemimpin dan bobroknya birokrasi.
Maka bergembiralah dengan pesta tahun baru. Sesuatu yang normal, karena rakyat juga butuh kegembiraan. Sebab, untuk sanggup menjadi pemimpin cita-cita kita cuma satu, ialah menjadi kaya. Populer juga powerful and famous; berkuasa dan terkenal.
Tak semua pemimpin dan elite mau berubah. Mereka masih terperangkap dalam masa lalu. Tidak ada tindakan yang pasti. Jadi, kita gagal mengantisipasi dan merespon perubahan.
Seperti Joseph E. Stiglitz, pengamat kita sebenarnya “mengigau” daripada berhitumg tentang masa depan. Mereka cenderung melebih-lebihkan, dan tidak terkendali dalam berkhayal. Ramalannya cuma busa sabun belaka. Tidak ada gejala optimis mau dibawa kemana Indonesia.
Paradoksnya, dalam sistem perekonomian negara, setiap kebijakan ekonomi politik bisa dipesan. Negara dikuasai oleh segelintir orang kaya –disebut para oligarki. Broker tambang, gula, beras, daging, jagung dan komoditas lainnya. Faktanya, menurut Pesiden Prabowo, “1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 36 persen kekayaan Indonesia. 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 66 persen kekayaan Indonesia. Artinya, 1 persen populasi terkaya Indonesia sekitar 2,7 juta orang menguasai USD 1,2
triliun – sekitar Rp.16.800 triliun”.
***
Begitu mirisnya keadaan bangsa kita hari ini. Demikian halnya Maluku Utara, terjebak di persimpangan jalan. Praktek demokrasi berada dalam kuasa uang oligarki.
Elite birokrasi kita di-brainwash; otaknya dicuci. Keyakinan pengabdiannya diprogram dalam kultur inferior. Kolaborasi dengan investor asing berubah jadi kerja bakti, dan nasib rakyat seperti mengontrak rumah di negeri sendiri. Tiada jalan lain, pemimpin kita lebih berperan sebagai komprador dan agen oligarki. Semua menjadi tak berdaya.
Guru honorer sengaja dimiskinkan. Siapa tahu; kita adalah manusia yang memberi andil atas kesengsaraan ini.
Semua pertanyaan penting kita, adalah tentang rasa keadilan. Kekayaan sumber daya alam itu, apakah berkah atau bencana? Lihatlah, hasil tambang kita terus dihisap. Rakyat jadi buruh murah demi memperkaya bangsa lain. Lalu, dengan gembira kita nyanyikan Indonesia raya, di tengah kemiskinan rakyat yang kurang gizi.
Kuatnya dominasi institusi ekonomi politik ekstraktif di kawasan pertambangan, juga berimplikasi terciptanya bencana alam, keterbelakangan, pengangguran, ketimpangan dan kerusakan lingkungan demikian masif. Maluku Utara yang besar dalam sejarah masa lalu, hari ini dikepung kawasan tambang tapi tak memberikan
kesejahteraan bagi warganya.
Wajah para elit selalu berganti. Kadang culas, menipu angka-angka, atau merekayasa kondisi. Kemenangan adalah tujuan akhir, bukan proses dan kerja keras yang diagungkan. Tatkala kekuasaan telah diraih, roda pemerintahan justru berjalan pincang, tidak sejalan dengan semangat membangun. Akibatnya, daerah makin terpuruk dalam labirin keterbelakangan.
Kita merekayasa angka kemiskinan dan pengangguran. Seolah menurun, namun pada bagian bawah ibarat bongkahan gunung es, justru makin melebar.
***
Maluku Utara hari ini, setelah 25 tahun adalah “catatan kegagalan”. Elit yang tampil sebagai pemimpin, selalu terjebak pada tarikan kepentingan oligarki. Maka tidak ada agenda apapun yang lebih diutamakan, dibanding agenda politik, yaitu perebutan rente dalam pasar gelap kekuasaan.
Pada hampir semua wilayah kabupaten/kota, fasilitas publik dan permasalahan infrastruktur masih menjadi hambatan. Kita patut bertanya; kemana semua janji yang pernah terucap untuk menyejahterakan masyarakat?
Atas dasar itulah, kita patut melakukan koreksi secara ke dalam dan keluar atas apa yang terjadi hari ini di Maluku Utara (inward
and outward looking) merupakan suatu keniscayaan. Selama ini kita tak lebih hanya boneka dan robot yang diremot oleh kehendak oligarki.
Dan terhadap misteri tahun 2025, kita tak boleh menyerah. Mungkin kita sedang diuji Allah. Jika memang diuji, berarti disediakan derajat yang lebih tinggi. Atau mungkin di banyak konteks, kita memang diazab, karena tidak pernah bersyukur.
Barangkali juga tidak, karena Allah itu terlalu besar dan agung untuk terganggu oleh pengkhianatan kita. Semoga kita tidak sedang mengigau. (*)
Tinggalkan Balasan