Tandaseru — Praktisi hukum meminta Polda Maluku Utara serius menangani kasus dugaan korupsi anggaran refocusing Rp 1,6 miliar tahun 2020 yang melekat di Dinas Pemuda dan Olahraga Malut.

Selain itu, ada pula anggaran kegiatan PPLP yang menggunakan APBN sebesar Rp 1,4 miliar yang terdiri dari makan minum ditambahkan dengan honor sebesar Rp 4 miliar.

Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Ternate Muhammad Konoras mengatakan, fungsi penyelidikan dan penyidikan adalah untuk memastikan ada atau tidak suatu peristiwa pidana terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Karena itu, penegak hukum, baik polisi maupun jaksa harus memiliki keahlian investigasi yang memadai dalam mengungkap sebuah kasus yang diduga ada indikasi kerugian keuangan negara.

Konoras bilang, penanganan sebuah kasus korupsi dalam hal penggunaan anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya maka yang harus dilakukan oleh penegak hukum adalah melakukan investigasi secara tertutup demi menjaga adanya informasi yang bocor keluar.

“Saat ini saya melihat model penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik polisi dan jaksa sudah terkesan asal jadi. Bahkan baru mengundang pihak-pihak yang terindikasi mengetahui suatu peristiwa pidana sudah ada oknum oknum penegak hukum yang ‘nakal’ menelepon teman-teman pers untuk meliputnya,” ujarnya, Selasa (26/4).

Hal ini, kata Konoras, membuat banyak penyelidikan perkara korupsi tidak maksimal dan pada akhirnya tidak diteruskan ke tahap penyidikan. Pasalnya, sudah terjadi upaya-upaya menghilangkan alat bukti oleh orang-orang yang merasa terlibat dan/atau kongkalikong antara oknum-oknum penegak hukum dengan para pelaku korupsi.

Terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Dispora Maluku Utara, Konoras berharap Polda terlebih dahulu meminta BPK melakukan audit dengan tujuan tertentu. Dengan begitu bisa diketahui apakah ada kerugian keuangan negara atau tidak.

“Jangan kemudian belum ada hasil audit BPK Polda sudah mendahului memanggil pihak-pihak unuk dimintai keterangan. Jangan sampai terjadi di beberapa kasus korupsi yang saya tangani, dimana BPK sudah mengatakan tidak ada kerugian keuangan negara eh aneh-aneh saja polisi dan jaksa selalu meminta BPKP untuk melakukan audit ulang dan hasilnya berbeda degan temuan BPK,” tukasnya.

Lebih aneh lagi, kata Konoras, ada kasus yang menurut BPK telah terjadi kerugian keuangan negara dan BPK merekomendasikan kepada pihak yang terlibat untuk segera mengembalikan ke kas daerah. NamunĀ jaksa masih menggunakan jasa BPKP dan belakangan ditemukan lagi kerugian keuangan negara.

“Sehingga para kontraktor harus mengembalikan keuangan negara kedua kalinya. Padahal yang bisa menetapkan kerugian keuangan negara berdasarkan UUD 1945 adalah BPK, bukan BPKP,” tegasnya.

“Ini sangat merugikan kepentingan para kontraktor karena diperlakukan secara tidak adil. Padahal jika kita rasionalkan maka negara diuntungkan tetapi para rekanan dan kadis harus masuk penjara,” pungkas Konoras.