Tandaseru — Jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi di Provinsi Maluku Utara (Malut) perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Provinsi. Pasalnya, angka balita kurang gizi di Malut saat ini mencapai 14,1 persen.
Kekurangan gizi pada balita yang terjadi di Malut terdiri dari tiga kriteria yakni underweight atau balita yang mengalami berat badan kurang dan sangat kurang, stunting atau balita yang sangat pendek dan pendek, dan wasting atau balita yang mengalami gizi buruk, gizi kurang dan obesitas.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Malut di tahun 2020 melalui elektronik-pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM), dari 95.051 balita di Malut, yang mengalami underweight sebanyak 3.146 balita atau 14,1 persen, stunting sebanyak 3.541 balita atau 16 persen, sedangkan wasting sebanyak 1.810 balita atau 8,2 persen.
Balita yang mengalami kekurangan gizi tercatat dari umur 0 sampai 59 bulan.
Ketua Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Maluku Utara, Dr. Marwan Polisiri, Amd.Kep, SKM, MPH saat dikonfirmasi tandaseru.com, Selasa (2/3) mengatakan, meskipun secara kuantitas permasalahan kekurangan gizi di Malut relatif sedikit, namun secara kualitas tidak ada perubahan pada permasalahan kekurangan gizi pada balita di Malut. Sebab ada beberapa daerah yang setiap tahun masih ditemukan angka kekurangan gizi dari tiga kriteria tersebut sangat tinggi.

Seperti halnya di Halmahera Selatan, pada tahun 2020 angka underweight masih ditemukan sebanyak 938 balita, stunting 933 balita, sementara wasting sebanyak 620 balita.
Untuk Halmahera Timur, angka underweight mencapai 648 balita, stunting 825 balita, serta wasting sebanyak 209 balita.
Kemudian disusul Halmahera Barat angka underweight sebanyak 516 balita, stunting sebanyak 644 balita, serta wasting sebanyak 325 balita.
Halmahera Utara angka kasus underweight sebanyak 348 balita, stunting 391 balita, wasting sebanyak 245 balita.
Kota Tidore Kepulauan angka underweight sebanyak 253 balita, stunting sebanyak 258 balita, dan wasting sebanyak 172 balita.
Sedangkan Kabupaten Pulau Morotai angka underweight ditemukan sebanyak 157 balita, stunting sebanyak 155 balita, serta wasting sebanyak 82 balita.
Kota Ternate angka underweight sebanyak 118 balita, stunting sebanyak 130 balita, dan wasting sebanyak 54 balita.
Sementara Halmahera Tengah angka underweight sebanyak 114 balita, stunting sebanyak 145 balita serta wasting sebanyak 70 balita.
“Sedangkan Kabupaten Kepulauan Sula angka underweight sebanyak 38 balita, stunting sebanyak 45 balita serta wasting sebanyak 15 balita,” urai Marwan.
Ia memaparkan, penyebab kekurangan gizi yang sering terjadi pada balita lantaran asupan gizi berupa makanan yang bergizi yang kurang maksimal dikonsumsi oleh ibu hamil maupun balita.
Menurutnya, kondisi kurang gizi yang kronis pada seorang balita dapat menyebabkan stunting, underweight serta wasting pada balita tersebut di masa mendatang.
Marwan menegaskan permasalahan yang timbul perlu diantisipasi secara bersama-sama, bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor di Dinas Kesehatan maupun BKKBN saja, tetapi juga sektor-sektor lain yang terkait dengan permasalahan tersebut.
“Hal ini tentu saja tidak mudah, tetapi harus diupayakan secara sinergi dan dengan strategi yang tepat, artinya penanganan tiga hal tersebut butuh peran juga instansi yang berkaitan langsung dengan permasalahan tersebut,” kata mantan Kepala Bapelitbang Tikep itu.
Menurut Marwan, penanganan pencegahan kekurangan gizi pada balita penting dilakukan secara dini. Artinya para remaja atau calon pengantin perlu dibekali dengan pengetahuan yang mapan sebelum menikah.
“Kalau kita bicara soal kekurangan gizi substansinya harus berawal dari calon pengantin. Seperti yang dikatakan oleh orang Jawa itu bebet, bobot dan bibit atau 3B itu. Artinya calon pengantin itu harus benar-benar sehat, sehingga dua kualitas yang baik ini menikah, antara laki-laki dan perempuan, kita berharap bisa melahirkan keluarga yang berkualitas atau anak-anak emas nanti ke depan,” harapnya.
Ia mengaku, penanganan kekurangan gizi pada balita perlu dilakukan penyusunan rencana kerja baik jangka pendek, menangah maupun jangka panjang.
“Untuk upaya-upaya jangka pendek ini kan seperti BKKBN, Dinas Kesehatan maupun Dinas Pendidikan. Apa yang harus dilakukan tiga dinas tersebut. Misalkan Dinas Kesehatan mereka harus pastikan bahwa ibu hamil itu sehat, ibu hamil punya gizi juga harus cukup. Kemudian saat melahirkan harus difasilitasi dengan kesehatan yang baik. Kemudian setelah pascamelahirkan, perawatan apa yang dilakukan. Nah pascamelahirkan ini perlu ada sektor lain juga dalam penanganan gizi anak. Artinya semua sektor harus dilibatkan,” tegasnya.
Selain itu, Marwan menambahkan, usia kehamilan yang terlalu dekat juga menyebabkan atau bisa mempengaruhi terjadinya kekurangan gizi pada anak, baik underweight, stunting maupun wasting.
“Ini yang perlu menjadi perhatian BKKBN. Penting dilakukan pemahaman kepada ibu-ibu soal sektor KB, usia jarak anak yang terlalu dekat juga sangat membahayakan ibu, kemudian dari sisi ekonomi sangat memberatkan keluarga. Kemudian kualitas janin, sebab belum masuk masa pemulihan yang cukup sudah hamil lagi tentu kualitas janin yang kedua ini pasti menurun. Memang untuk menuju keluarga berkualitas sangat penting diatur soal jarak anak atau kehamilan,” terangnya.
Sementara di Dinas Pendidikan, seharusnya sejak dini sudah memberikan pemahaman kepada anak-anak usia dini yang duduk di bangku sekolah.
“Artinya, anak-anak ini kita juga harus berbicara soal kualitas makanan yang bergizi, agar anak-anak sudah bisa memilih mana makanan yang higienis yang punya nutrisi yang bagus serta bergizi,” tambahnya.
Marwan juga berharap agar Progran Keluarga Harapan (PKH) di Dinas Sosial menjadi bagian penting dalam penanganan kekurangan gizi itu. Memasukkan ibu hamil dan balita sebagai salah satu komponen bantuan dari PKH penting dilakukan. Artinya, bantuan tersebut perlu tepat sasaran agar ibu hamil dan balita bisa mendapatkan bantuan tersebut untuk dapat memenuhi asupan gizi yang maksimal.
“Meskipun kita berharap agar ibu hamil dan balita ini perlu mengkonsumsi makanan yang punya asumsi yang bagus, tetapi kalau mereka orang tidak mampu tentu ini juga masalah. Maka itu, peran Dinas Sosial ini sangat penting untuk dapat melakukan pendataan yang lebih maksimal, agar ibu hamil dan balita bisa mendapatkan bantuan tersebut,” harapnya.
Staf Ahli Wali Kota Tikep itu menegaskan, strategi ampuh dalam upaya perbaikan gizi masyarakat khususnya penurunan prevalensi gizi kurang adalah dengan revitalisasi Posyandu. Posyandu merupakan garda terdepan. Posyandu juga wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan sebagai pembina dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama kesehatan ibu dan anak.
“Karena di Posyandu dilakukan berbagai macam upaya kesehatan meliputi penimbangan dan pencatatan dalam rangka kewaspadaan menurunnya keadaan gizi anak, penyuluhan, imunisasi, suplementasi zat gizi maupun kegiatan-kegiatan promotif dan preventif lainnya,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan