Oleh: Moh. Andhy Maulana
Mahasiswa PPS Unkhair
_________
PLAZA Gamalama merupakan salah satu aset strategis milik Pemerintah Kota Ternate yang berada di pusat aktivitas perdagangan dan transportasi kota. Letaknya yang berdekatan dengan Terminal Gamalama dan Pasar Higienis menjadikannya sangat potensial untuk dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.
Hingga kini, gedung ini terbengkalai dan tidak dimanfaatkan secara optimal bahkan sudah mulai rusak. Miris, sebuah gedung modern dibangun dengan uang rakyat puluhan miliaran, lantas dibiarkan begitu saja. Pertanyaan mengapa demikian, apakah Pemerintah Kota Ternate tidak kreatif dan inovatif mencari pundi-pundi PAD, ataukah tidak ada pihak ketiga yang berminat, ataukah sang wali kota enggan memanfaatkan karya wali kota sebelumnya?
Penulis tidak mau menjawab pertanyaan tersebut secara spekulaitf tapi mencoba menganalisis singkat dalam perspektif ekonomi publik, kondisi ini mencerminkan inefisiensi pengelolaan aset daerah, yang menyebabkan hilangnya peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta perputaran ekonomi lokal.
Menurut Bahl dan Linn (1992), pemanfaatan aset publik secara optimal sangat penting dalam konteks otonomi daerah untuk mendorong efisiensi fiskal dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sayangnya, tidak dimanfaatkannya Plaza Gamalama menciptakan opportunity cost yang tinggi. Dana perawatan dan pemeliharaan gedung tetap dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi tidak ada kontribusi balik berupa pendapatan ataupun manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar. Hal ini bertentangan dengan prinsip value for money dalam pengelolaan aset publik (Mardiasmo, 2002).
Plaza Gamalama memiliki peluang besar untuk dikembangkan menjadi pusat UMKM, inkubator bisnis, coworking space, atau pusat oleh-oleh khas Maluku Utara. Pemanfaatan aset seperti ini dapat meningkatkan kinerja ekonomi lokal, memperkuat daya saing kota, dan membuka lapangan kerja baru (World Bank, 2008). Jika dirancang dengan pendekatan public-private partnership (PPP), pemerintah kota tidak perlu menanggung seluruh biaya revitalisasi, tetapi bisa bermitra dengan pelaku swasta atau koperasi lokal untuk mengelola gedung secara profesional (Bappenas, 2021).
Ketidakterlibatan Plaza Gamalama dalam siklus ekonomi kota juga menunjukkan lemahnya perencanaan strategis jangka panjang. Menurut Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, aset yang tidak dimanfaatkan selama lebih dari 1 tahun harus dievaluasi ulang untuk pengalihan fungsi, kerja sama pemanfaatan, atau penghapusan. Sayangnya hingga saat ini belum terlihat upaya konkrit dari Pemerintah Kota Ternate untuk melaksanakan amanat regulasi tersebut secara maksimal.
Dari sisi potensi ekonomi, pemanfaatan Plaza Gamalama bisa mengadopsi konsep asset-based local economic development (ABLED), yaitu pengembangan ekonomi lokal dengan mengoptimalkan sumber daya dan aset yang dimiliki wilayah (Green & Haines, 2012). Strategi ini terbukti berhasil diterapkan di berbagai kota di Indonesia, seperti Surakarta dengan pengembangan Pasar Klewer, atau Yogyakarta dengan revitalisasi Malioboro sebagai kawasan terpadu perdagangan dan budaya.
Potensi strategis Plaza Gamalama juga dapat dikaitkan dengan pengembangan kawasan heritage dan pariwisata sejarah Ternate. Menurut Dinas Pariwisata Maluku Utara, Ternate memiliki lebih dari 30 situs sejarah dan budaya yang dapat dikemas dalam ekowisata urban. Jika Plaza Gamalama diarahkan sebagai pusat informasi budaya, pameran UMKM, atau ruang publik komunitas kreatif, maka efek ekonominya bisa meluas ke sektor jasa dan pariwisata.
Upaya ini menuntut adanya reformasi kebijakan pengelolaan aset daerah yang lebih transparan dan partisipatif. Studi dari Transparency International Indonesia (2020) menunjukkan bahwa banyak aset daerah terbengkalai karena minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan serta keterlibatan publik yang rendah dalam proses pemanfaatan.
Sebagai solusi, Pemerintah Kota Ternate perlu membentuk Tim Manajemen Aset Terpadu yang melibatkan OPD teknis, BUMD, pelaku usaha lokal, dan akademisi untuk menyusun roadmap pemanfaatan Plaza Gamalama. Pendekatan kolaboratif ini akan memperkuat legitimasi sosial dan mendorong percepatan pengambilan keputusan yang lebih adaptif terhadap kebutuhan ekonomi lokal.
Penelusuran terhadap laporan BPK dan LKPD Kota Ternate juga dapat memberikan gambaran sejauh mana aset ini tercatat dan direncanakan penggunaannya. Keterlibatan DPRD Kota Ternate sebagai pengawas kebijakan daerah pun menjadi penting untuk memastikan bahwa kebijakan terkait Plaza Gamalama tidak stagnan dalam birokrasi. Jika tidak segera dimanfaatkan, Plaza Gamalama bukan hanya akan menjadi beban anggaran, tetapi juga simbol dari hilangnya peluang pembangunan ekonomi di tingkat lokal. Sebaliknya, jika dikelola secara cerdas dan inovatif, gedung ini dapat menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi mikro dan simbol kemajuan tata kelola aset di Kota Ternate. Dengan demikian, pemanfaatan Plaza Gamalama bukan hanya soal revitalisasi fisik bangunan, tetapi juga transformasi cara pandang pemerintah terhadap aset daerah sebagai instrumen strategis pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. (*)
Tinggalkan Balasan